SEMALAM DALAM HIKMAH
(Cerita ini kutulis pada minggu pertama bulan Mei 2006)
Rabu 19 April 2006, pukul
19.00 WIB.
(01) Hujan deras
mengguyur kota Trenggalek
Sejak usai sholat Isya’, hujan yang mengguyur kota Trenggalek semakin
deras. Tampak sesekali langit putih menyala, dan sesaat kemudian suara gemuruh
menggelegar terdengar menggetarkan kaca jendela. Di kursi plastik warna merah
aku tengah duduk gelisah dengan pandangan mata kosong menerawang gelapnya
langit malam. Sebatang rokok di bibir kuhisap dalam-dalam, perlahan kuhembuskan
asapnya yang menari bergumpal-gumpal di udara. Tak beberapa lama kemudian asap pembakaran
yang mengandung nikotin itu telah
membungkus badanku, seakan ikut membalut kegalauan dihati yang menyimpan
seribu misteri.
Aku terjaga dari lamunan oleh
kerasnya aroma kapur barus yang menusuk hidung. Memang, sepanjang siang tadi
aku telah melakukan peperangan sengit melawan rayap-rayap yang ganas.
Bermodalkan tabung semprot plastik yang telah kuisi minyak tanah dan kapur
barus, kususuri setiap sudut rumah untuk menyemprot sarang dan jalur rayap.
Sudah banyak perkakas rumah tangga dari kayu, seperti meja belajar anakku,
almari baju, buffet serta beberapa buah kursi telah rusak oleh keganasan liur
rayap. Bilamana beberapa hari tidak berpacu melawan rayap maka dapat dipastikan
rumah rayap sudah setinggi atap. Meski rasa benciku teramat memuncak terhadap
binatang yang bernama rayap ini, namun filosofi semangat dan tekad rayap memang
kuakui luar biasa. Rayap-rayap memiliki naluri baja, gerak langkahnya tak kenal
menyerah. Pola kerja dan semangat rayap
inilah yang barangkali perlu ditiru oleh budaya negeriku, asalkan tidak
mencontoh kerakusannya. Sifat rakus dari perilaku rayap ini manakala membudaya
di kalangan masyarakat jelas akan merusak moral anak negeri. Sebab ketamakan perilaku
rayap ini sifatnya membabi buta, menghalalkan segala cara, tidak perduli bahwa
efek yang ditimbulkannya akan membuat orang lain menderita. Hal ini sangat
bertentangan dengan cita-cita bangsa yang merdeka dan berdaulat, dapat
memudarkan semangat nasionalisme dan patriotisme dalam membangun manusia
seutuhnya yang berkesinambungan di segala bidang.
Aku jadi teringat akan syair
lagu Pop Indonesia karya Mugi Darusman berjudul “Rayap-rayap”, yang pernah
meledak di era tahun 80-an. Dan konon waktu itu peredaran album tersebut sempat
dibredel oleh penguasa orde baru karena isi syairnya dianggap sangat oposisi.
Bahkan Mugi Darusman sendiri akhirnya terpaksa menetap di benua Kanguru Australia
tanpa ada pemberitaan yang jelas mengenai dirinya. Beberapa potongan syair lagu
“rayap-rayap” berbunyi :
“Ku tahu rayap-rayap sangat
banyak di negeri kita,
Merayap bergandengan memakan
apa saja,
Rayap-rayap yang ganas merayap,
Ber jas dasi dalam kantor makan
minum darah rakyat….”
Aku tak jenak duduk. Untuk
sedikit menghibur kegalauan dihati, jari jemari tanganku mulai menari-nari
diatas tuts piano. Petikan arpeggio dalam birama 4/4 yang biasa kumainkan
perlahan-lahan terdengar dari kontrol salon speaker aktif berukuran sedang,
disudut studio. Sayup-sayup instrumentalia yang kumainkan melalui piano tunggal
mulai membentuk sebuah intro lagu, seiring jemariku yang menyusuri 5 oktaf di
nada dasar F. Satu tembang sweet-mellow
bertitel “Esok kan masih ada” dari hits album Utha Likumahua kini mengumandang
dan memantulkan gaung lembut di dinding studio yang belum kupasang karpet
peredam.
Sudah hampir dua bulan ini
ruangan di sebelah kiri rumah induk kupergunakan untuk studio tempat latihan bermain
musik. Meskipun fasilitasnya masih sangat sederhana akan tetapi menurutku sudah
cukup lumayan untuk berlatih musik, baik untuk latihan group band maupun shalawat
dan rebana kreasi. Bagiku, tempat ini merupakan kebanggaan tersendiri, rasa
syukur sebagai perwujudan gelora musikku yang senantiasa tak pernah luntur sejak
aku masih remaja. Hal ini juga ditunjang pula oleh prestasi musik anak
sulungku, Dias Agusta yang semakin tahun kian meningkat, sehingga aku semakin
termotivasi untuk dapat mengantarkan bakat anakku agar kelak bisa mencapai
sukses. Ada semacam kekuatan rasa dibatinku bahwa suatu saat anakku mampu
mencapai puncak prestasi musiknya, mampu berkarya dan bekerja dengan gemilang,
mampu melanjutkan cita-cita ayahnya sehingga kelak dapat menjadi figur musisi
yang handal, yang kreatif dan “mumpuni”.
Dan yang tidak kalah penting adalah jauh dari pengaruh kehidupan narkoba,
kenapa? Ya, kita semua tahu bahwa hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan
mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, karena
penyebarannya sudah hampir tak bisa dicegah lagi. Tentu saja
masyarakat, orang tua dan pemerintah dibuat sangat khawatir dengan masalah ini.
Salah satu upaya yang paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan narkoba
adalah melalui pendidikan keluarga.
Mungkin bukan sesuatu yang
berlebihan mengharapkan anakku menjadi “musisi yang beriman”, sebab potensi ke
arah itu sepertinya bisa dilalui. Aku tahu persis dengan karakter isteriku yang
terbiasa “digodok” di almamaternya pondok
pesantren. Karenanya, kedua anakku sejak kecil sudah dilatih mengerjakan shalat
wajib lima waktu dan belajar mengaji.
Bahkan Dias secara privat dicarikan guru khusus belajar kitab suci Al-Qur’an.
Di dunia musik, Dias mengawali perjalanan langkah musiknya sejak di bangku
Sekolah Dasar kelas IV, bergabung bersama Group band anak-anak “Deddy’s Junior
Band” SDN 3 Ngantru Trenggalek. Meskipun dari faktor usia masih kelihatan sangat
kecil, namun Dias dan teman-bandnya pernah mengantongi predikat “Group Band ter
Favorit” dalam ajang festival Band Pelajar se Ex Karesidenan Kediri pada Tahun
2000. Merangkak namun pasti, barangkali itu sebutan yang pas untuk Dias cs ditahun-tahun
awal melangkahkan kaki dikancah band anak2. Torehan prestasi musik satu demi
satu berdatangan dan terus berkelanjutan sampai masuk ke sekolah lanjutan. Sewaktu di bangku SLTP, band barunya yang
diberi nama “Radiyos Band” SMP Negeri 1 Trenggalek telah berhasil membawa nama
harum almamaternya maupun kabupaten Trenggalek, karena mampu secara
berturut-turut menjadi Juara II Tingkat Jawa Timur pada even “Festival Band Pelajar
SLTP se Jawa Timur” di SMKN 9 Surabaya tahun 2003 dan 2004, setelah menyisihkan
sekitar 60 group band SLTP dari berbagai Kabupaten/kota se Jatim. Atas prestasi
musik yang sudah diraih “Radiyos Band”, sekolah tempat Dias menuntut ilmu yakni
SMP Negeri 1 Trenggalek mendapat bantuan peralatan musik lengkap dari Depdiknas
Pusat. Masuk ke sekolah lanjutan atas, masih dengan prestasi yang sama yakni
dibidang musik, Dias bersama teman-teman di group musik “Prigi band”, juga berhasil
memperoleh prestasi yang mengagumkan bagi keharuman nama SMA Negeri 1
Trenggalek dengan meraih “Juara III
Tingkat Nasional” melalui Festival Band Pelajar Tingkat SLTA Se Indonesia yang
berlangsung di Depdiknas Pusat Jakarta pada tahun 2005. Penyambutan
keberhasilan ini dilakukan secara upacara resmi di depan pendopo kabupaten,
bersama para pelajar lain dalam prestasi yang berbeda, yang diberikan langsung
oleh Bupati Trenggalek.
Anakku yang nomor dua, Ading
Agusta kelihatannya ingin mengikuti jejak kakaknya. Akan tetapi menurut
pengamatanku, potensi si bungsu ini lebih tampak menonjol di seni lukis atau
menggambar, “Tiada hari tanpa corat-coret”, demikian kegiatan sehari-hari di
rumah. Untuk mewadahi hobby anakku yang satu ini, aku selalu siap dengan satu
rim kertas HVS berukuran 80 serta berbagai peralatan menggambar, seperti spidol
warna, pantel, crayon, cat air, pensil warna dan lain-lain. Namun begitu
seperti juga kakaknya, si Ading mulai pula kuajari bermain musik, dan bersama
teman-teman sekolah dikelas IV SDN 3 Ngantru Trenggalek, membentuk kelompok Band anak-anak bernama
Pertiwi Junior Band.
Selain kugunakan untuk memberi
les musik secara privat maupun kelompok band khususnya bagi pelajar dan pemula,
ruang studio juga kugunakan untuk menggembleng kelompok musikku yang bernafaskan
Islami, yakni “Orchestra Jabalkat”. Ketua kelompok ini, bapak Ali Masruhin
adalah sosok yang kreatif dengan ide-idenya yang cemerlang. Pak Ali, demikian
nama panggilan kesehariannya sangat aktif terlibat langsung di Jabalkat sebagai
vokalis dan pemain rebana, sekaligus bersamaku mengaransemen lagu-lagu untuk
koleksi Jabalkat. Dengan bassic musikku yang nge-pop rock, jadilah Jabalkat
sebagai kelompok shalawat yang mengusung aliran musik allround. Saat tampil di
panggung dengan nuansa perpaduan padang pasir dan etnis jawa, sudah menjadi hal
yang biasa manakala di beberapa lagu terkadang muncul irama blues, disco, rock
maupun sedikit sentuhan irama jazz.
Dua tahun belakangan ini
kondisi komposisi anggota Jabalkat dapat dikatakan cukup memprihatinkan karena
beberapa personil mengundurkan diri. Ada yang bekerja ke luar Jawa, ada yang
sibuk dengan rumahtangga barunya dan lain-lain. Puncak keterpurukan ini semakin
jelas, ditandai dengan masuknya beberapa personil baru yang selain kurang
memiliki disiplin, kemampuan musiknya sangat pas-pasan. Maka jangan berharap
untuk memperoleh harmonisasi dalam komposisi lagu, Begitu pula dengan jadwal
latihan maupun tempatnya semakin tidak teratur. Inilah yang kemudian mendorong
naluriku untuk segera turut bertindak. Jabalkat harus bangkit kembali dan
berjaya seperti empat tahun lalu, harus didukung personil yang sesuai dengan
keahliannya, harus mampu mengelola jadwal latihan secara tertib dan disiplin,
harus berani berkorban dan bertanggung jawab. Ada
harapan yang besar dibenakku bahwa kelak Jabalkat akan menjadi Group orchestra
shalawat terdepan dan terbesar di kota
Trenggalek. Nama dan eksistensinya bisa sekelas Al-Gazas dari kota Tulungagung,
dan kalau perlu bisa kembali bersepanggung seperti tahun 2002 dengan group musik
shalawat kondang “Kyai Kanjeng” yang dikomandani oleh suami artis Novia
Kolopaking yaitu Kyai Mbeling Cak Nun (Ainun Najib).
Alhamdulillah, berkat dorongan
semangat dari pembina orchestra ini, bapak Rifana Zainuddin, “konco-konco” Jabalkat yang masih
bertahan mulai introspeksi, menata kembali jadwal latihan serta mengatur
rolling personil secara tepat.
“Ini
adalah sebuah misi seni dan ibadah yang perlu dipertahankan dan dikembangkan,” demikian ucapan pak Rifana
Zainuddin dalam suatu pertemuan personil Jabalkat di kediamannya, di Jalan
Veteran (selatan masjid Darussalam) Trenggalek.
Jam di dinding sudah beranjak
ke pukul 21.30 WIB. Beberapa lagu yang kumainkan sudah kusimpan di disket
orgen. Aku tersenyum sendirian di studio saat mendengarkan aransemen musik dari
lagu dangdut yang berjudul “pasrah” yang baru saja kubuat. Andai saja Muhsin
Alatas yang mempopulerkan lagu tersebut mendengar aransemenku, beliau akan
mengerutkan dahi, atau bisa jadi artis top dangdut tersebut akan tersenyum
manggut-manggut, sebab hasil kreasiku yang nakal menjadikan lagu “pasrah”
berganti irama menjadi rock jazz. Sudah ada puluhan lagu kudaur-ulang versi
kenakalanku, baik itu lagu keroncong, dangdut, langgam, campursari, pop maupun
lagu manca negara. Aliran musik kegemaranku sendiri condong ke beat kreatif dan
rock, berkiblat pada musisi dan artis idolaku seperti Fariz RM, Billy Joel,
Dian PP, Chrisye, Utha Likumahua, Michael Frank, George Benson, Van Hallen,
Deep Purple, Queen, Scorpions dan God bless.
Dari balik kaca ruang studio musik,
aku masih dapat menatap langit berkilauan oleh sinar kilat meluncur ke bumi,
yang sesaat kemudian terdengar suara gemuruh menggelegar menusuk gendang
telinga. Pohon bambu dan sukun diseberang jalan terlihat berdansa oleh terpaan
angin yang cukup kencang, mengikuti irama symphony air hujan yang masih
bertahan dengan derasnya.
Rabu 19 April 2006, pukul
23.00 WIB.
(02)
Ketinggian air
sungai mencapai plengsengan
Tanpa terasa sudah menginjak tahun ke-enam aku menempati rumah
ini. Ya, perumahan Sinawang Indah yang selain lokasi yang strategis berada di
pusat kota, suasananya cukup aman bagi warga yang masih memiliki anak kecil. Barangkali
inilah sisi kelebihan Perumahan yang hanya memiliki 1 RT dan terdiri dari 41
kepala keluarga serta dihuni oleh banyak pendatang dari luar kota seperti
Banyuwangi, Nganjuk, Klaten serta sebagian dari Trenggalek sendiri. Iklim kekeluargaan
dalam bertetangga benar-benar terasa sangat kental, kompak serempak “guyup
rukun” dalam berbagai kegiatan RT seperti arisan warga, kerja bakti, ronda
malam maupun kegiatan sosial yang lain. Untuk urusan jaga keamanan lingkungan, hampir
setiap malam tidak kurang dari empat orang kepala keluarga yang mangkal di pos
kamling sejak pukul 22.00 hingga 03.00 dini hari. Kebetulan malam ini giliranku
tugas jaga pamling bersama mas Yuli Priyanto, bapak Sirat dan kang Danang.
Meskipun jadwal jaga sudah disusun oleh pak Nur Siadi selaku seksi keamanan RT,
namun yang mangkal di pos kamling sering melebihi jumlah target. Hal ini
dikarenakan besarnya kesadaran warga akan pentingnya faktor keamanan lingkungan. Konsumsi yang tersedia
pun tak lepas dari kopi panas maupun camilan ringan, yang jatahnya setiap malam
digilir per kepala keluarga. Selain melaksanakan ronda keliling perumahan,
sebagian teman jaga yang lain mengisi waktu dengan bermain catur di pos
kamling.
Setelah kumatikan power piano
ellectone, tiba-tiba muncul keinginan dibenakku untuk menulis SMS kepada
bapak-bapak yang berdomisili di perumahan Sinawang. Dengan HP Motorolla type C-380 milikku, aku
mulai menulis baris demi baris kalimat dalam bahasa jawa yang berbunyi :
“Situasi
mekaten punika rak nggih langkung waspada, utaminipun bab kondisi sungai.
Monggo sami tirakat. (Situasi demikian ini sebaiknya lebih waspada, terutama
mengenai keadaan/ kondisi air sungai. Mari bersama-sama tetap waspada/ terjaga”
Hampir sebagian kepala keluarga
membalas smsku dengan tanggapan yang serius. Dik Yono (Enda Cahyono) misalnya,
yang memberitahukanku bahwa dia sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota dan sudah memasuki
desa Ngetal Pogalan. SMS yang ditulisnya berbunyi :
“Mengko
tak kancani jaga mas, aku sik teka Ngetal. (Nanti kutemani jaga pamling mas,
aku sekarang sudah memasuki desa Ngetal)”
Jawaban SMS yang lain datang
dari pak Mislani, tetangga yang bertempat tinggal di Blok C :
“Inggih
pak, maturnuwun. (Iya pak, terimakasih)”
Ada pula balasan SMS dari warga
yang lokasi rumahnya berada paling ujung selatan yakni bapak Ajar Subyakta :
“Inggih
pak, semoga tidak terjadi apa-apa. Ya kita berdoa saja.”
Sungguh menyenangkan bertempat
tinggal di lingkungan yang penghuninya dari berbagai daerah dengan status
pekerjaan yang berbeda-beda. Ada
yang menjadi guru, polisi, pedagang, PNS Pemkab, instalatir listrik, pelajar
dan mahasiswa yang kost, pengusaha selulair
dan swasta lainnya. Kekompakan dalam mengikuti berbagai kegiatan di RT,
RW, Kelurahan, Kecamatan sampai di tingkat Kabupaten kerap kali nyata wujudnya.
Hasil partisipasi warga Perumahan Sinawang Indah dalam aneka kegiatan
memperingati hari besar nasional diantaranya berhasil meraih peringkat 5 besar
Lomba Rondha Thethek dan Juara II Hias Sepeda Putri, yang diselenggarakan oleh
PPHBN Kabupaten Trenggalek. Pada tahun 2006 ini pula ditunjuk Pemkab Trenggalek
sebagai Hunian Perumahan Percontohan tingkat Kabupaten.
Kudengar seperti ada suara
seseorang diluar rumah, lantas pintu studio kubuka. Tampak bapak Sukani, guru
SMP Negeri 1 Trenggalek, warga perumahan blok C sambil berpayung dalam hujan sedang
berbincang-bincang dengan bapak Yuli Priyanto di jalan perumahan depan rumah.
Melihat aku nongol, pak Sukani juga mengabarkan kepadaku bahwa ketinggian air
sungai yang terletak di sebelah barat perumahan ini sudah sejajar dengan “plengsengan” sungai. Kuambil sebungkus
rokok dan HP, kumasukkan ke saku celana. Sebelum keluar rumah, aku berpesan
kepada anakku yang sulung, Dias Agusta agar tetap berada di rumah bersama adik
dan ibunya. Dengan membawa payung aku berjalan dalam hujan deras menuju
poskamling. Berpapasan dengan pak Mislani di depan mushola Al-Ikhlas Sinawang,
akupun berbincang sesaat dengan beliau perihal hujan yang masih terus lebat
serta kondisi air sungai. Sesampai di poskamling yang sepi, aku berdiri
sendirian menatap kearah utara, melihat tanah batas perumahan. Tak ada air yang
menggenang disana, berarti keadaan sungai masih aman, pikirku. Tempat duduk
poskamling yang terbuat dari bahan keramik berwarna coklat muda sudah basah
kuyup oleh percikan air hujan. Kulihat jam di HP sudah menunjukkan pukul 23.00
WIB. Dari arah selatan tampak berjalan dengan perlahan mobil panther dik Yono yang
baru tiba dari perjalanan luar kota. Mobil berwarna abu-abu itu berhenti
disampingku. Dik Yono turun dari mobil dan menghampiriku serta menanyakan
teman-teman yang mendapat giliran tugas jaga malam ini. Kujawab bahwa sesaat
lagi mereka akan tiba. Dik Yono mengambil tongkat kentongan dan mulai memukul
kentongan sebanyak sebelas kali, sebagai tanda bahwa waktu sudah menunjukkan
jam sebelas malam, sudah saatnya warga yang dapat giliran jaga untuk berkumpul
di poskamling. Dengan lampu senter di tangan, bersama dik Yono aku melihat
ketinggian air sungai yang berwarna hitam kecoklatan sudah mendekati tanggul.
Air yang berwarna gelap itu mengalir dengan deras dan bergulung-gulung seiring
suaranya yang mendirikan bulu roma. Dengan payung masih ditangan karena hujan yang
belum reda, kami mulai keliling perumahan untuk mengabarkan kepada segenap
warga, supaya tetap waspada.
Aku jadi teringat pada tahun
2005 kemarin, saat itu hujan deras sepanjang pagi hingga siang. Kemudian pada
sore harinya sekitar pukul 16.30 WIB, aku bersama warga yang lain seperti pak
Nur Siadi, pak Nuryanto dan dik Yono menengok suasana sungai. Air sungai yang
berwarna kecoklatan telah mencapai tanggul, dan tinggal 20 cm saja air sudah
tumpah meluap ke perumahan apabila hujan belum reda. Ketinggian tanggul sungai
adalah 125 cm dari permukaan tanah perumahan. Dapat dibayangkan seandainya belum
ada tanggul, sudah tentu luapan air masuk ke area perumahan Sinawang. Bersyukur
bahwa beberapa saat kemudian perlahan-lahan air sungai surut kembali.
Sepertinya malam ini ada
firasat yang kurang baik memenuhi otakku. Genangan dan tingginya air sungai
mirip dengan setahun yang lalu. Hanya yang membedakan jika di tahun 2005 air
mendekati puncak tanggul pada sore hari, dimana banyak masyarakat lain
berbondong-bondong menyaksikan besarnya air sungai. Sedangkan malam ini terasa
lebih “miris”, dalam gelap malam
gulungan riak sungai kulihat sangat menyeramkan tersorot lampu senter yang
kugenggam. Usai keliling perumahan aku langsung berjalan pulang. Isteriku
kuberitahu bahwa air sungai cukup besar. Didalam kamar utama kulihat anakku
yang nomor dua, Ading Agusta, sedang terlelap dalam tidur yang nyenyak. Meski
kasihan, si kecil terpaksa aku bangunkan, aku berfikir bahwa sebaiknya si kecil
dan ibunya kuantar ke rumah ibuku di Surodakan, sementara aku dan Dias, anak
sulungku tetap ditempat sambil memantau perkembangan hujan dan sungai. Ketika
niatku ini kusampaikan ke isteri, dia bilang sebaiknya kita semua saja yang
pergi ke rumah ibu di surodakan. Sempat terjadi debat dan selisih paham antara
isteriku dan aku mempertahankan pemikiran masing-masing. Aku mulai bimbang dan
resah. Kulihat si kecil Ading berdiri terdiam dan matanya masih kelihatan
sangat mengantuk. Kusuruh Dias menutup pintu depan, lalu aku keluar rumah lagi
untuk melihat keadaan air sungai. Di jalan perumahan mulai banyak warga yang
hilir mudik. Ada
pula beberapa warga yang rumahnya masih tertutup, lalu penghuninya segera
dibangunkan oleh warga yang lain. Saluran buangan air sungai melalui pintu air
sebelah utara perumahan mulai mengalirkan tumpahan air dari sungai, warnanya
cokelat kehitaman, mengalir dengan tenang dan sangat anggun. Kulihat mas Yuli
Priyanto mengeluarkan mobil sedan biru, lalu bersama isteri dan puteranya, Rafi
meluncur kearah utara, keluar dari lokasi perumahan.
Aku bergegas masuk ke rumah
untuk membujuk isteriku agar mau keluar dari lokasi perumahan. Meski agak
sedikit keberatan akhirnya isteriku setuju. Sementara menunggu isteriku mengemasi
barang-barang yang paling penting seperti ijazah dan surat berharga lainnya, terlebih dahulu aku
dan si kecil Ading meluncur naik motor. Tujuanku transit kerumah pak Ucok
terlebih dahulu untuk menitipkan Ading, kemudian pulang menjemput isteriku. Pak
Ucok adalah tetangga dekat sewaktu aku masih kontrak rumah di RT.17 Kauman
Ngantru Trenggalek. Lokasi tanah kediamannya lebih tinggi dari tanah perumahan
Sinawang. Kupacu sepeda motor smash kepunyaan anak sulungku Dias menuju arah
selatan, karena lewat arah utara sudah tidak bisa dilalui, tumpahan air sungai telah
setinggi lutut. Sesampai di depan rumah pak Ajar, rumah yang berada paling
selatan perumawan Sinawang Indah ini, aku terhenyak. Jalan tembus arah selatan
menuju lok songo telah tertutup tumpahan air sungai kira2 setinggi 40cm dengan
arus yang deras. Barangkali kalau sendirian aku berani nekat menyeberang. Namun
kali ini harus aku urungkan karena ada si kecil Ading di boncengan belakang.
Niat untuk ke rumah pak Ucok aku batalkan lalu sepeda motor kuputar balik ke
rumah dan ku parkir di teras, di sebelah mobil merah tuaku Honda Civic tahun
1975.
“Nggak
bisa, tumpahan air sungai lewat saluran kontrol sebelah selatan sudah memenuhi
jalan tembus,”
kataku pada isteriku, saat menanyakan kenapa balik lagi dengan Ading. Aku berpikir,
jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari area perumahan adalah dengan
berjalan kaki.
Suasana di jalanan perumahan
semakin ramai oleh hilir mudik warga. Sementara arus air sungai yang mengalir
dari saluran kontrol utara perlahan-lahan mulai menggenangi aspal jalan, dengan
ketinggian sekitar 15 cm. Didalam rumah kulihat Dias sedang mengambil air
wudlu. Biasanya kalau malam-malam seperti ini dia sudah terbiasa melaksanakan
shalat malam atau tahajut. Anakku yang sulung ini memiliki tanggung jawab yang tinggi
atas segala kemauan maupun prinsipnya. Sesuatu hal yang kurang sesuai dengan
pikiran dan hatinya senantiasa ditanyakan ke orang tua. Termasuk urusan tugas
wajib sebagai pelajar maupun soal hobby kelihatannya tidak mau
setengah-setengah. Saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah 1
Trenggalek, Dias telah mengukir prestasi sebagai Juara I tingkat Jawa Timur
pada Olimpiade Finger Painting di Surabaya. Adapun di bidang akademik, anakku
yang satu ini senantiasa tak lepas dari peringkat I dan II sejak Sekolah dasar
sampai dengan SMA saat ini. Jenjang sekolah ke SLTP maupun SLTA dilaluinya
dengan lulus mengikuti test MIPA.
Kamis, 20 April 2006, pukul
00.02 WIB
(03)
Tanggul sungai
jebol
Aku menuju ruang studio,
kuangkat telepun rumah untuk menghubungi mas Yuli Priyanto serta mengabarkan
kalau air sungai sudah mulai menggenangi jalan-jalan di perumahan. Isteri mas
Yuli, mbak Lies yang menerima telepun mengatakan kalau mas Yuli sedang berada
di pendopo Kabupaten saat ini. Kembali ke teras rumah kulihat air berwarna
coklat kehitaman masih mengalir tenang di jalanan depan rumah. Meski gerimis
masih cukup padat, beberapa tetangga tidak mempedulikan dan mulai sibuk
mengamankan barang-barang berharga, termasuk perabot rumah tangga. Ada yang dibawa ke lantai
2 tempat tinggal mereka ataupun di mushola Al-Ikhlas Sinawang. Tampak dari arah
utara, mas Yuli Priyanto tengah berlari-lari kecil menuju rumahnya. Aku sempat
memberitahu bahwa aliran listrik pada alat-alat seperti kulkas, TV, mesin cuci
dan lain-lain supaya dicabut dari stop kontak sebelum meninggalkan rumah. Sebenarnya
spontan saja pikiran itu datang dan langsung kusampaikan ke mas Yuli, apalagi melihat beliau sendirian masuk
rumah. Barangkali tadi masih ada barang
yang tertinggal saat pergi dengan mobil bersama keluarganya, sehingga mas Yuli
kembali lagi kerumah sinawang. Anehnya, aku sendiri masih santai saja
melihat-lihat keadaan sekitar, belum ada saluran listrik alat-alat dirumah yang
kulepas dari stop kontaknya, termasuk orgen dan speaker kontrol di studio. Dari
dalam rumah kudengar istriku memanggil, supaya aku jangan keluar rumah dahulu.
Kututup daun pintu ruang depan dan kulihat di kamar Dias masih sholat sujud
malam. Rencanaku, usai Dias mengerjakan sholat, semua kuajak keluar dari area
perumahan dengan berjalan kaki.
Antara percaya dan tidak,
antara sadar dan terpukau, dari balik kaca jendela kulihat beberapa orang
laki-laki berlari-lari sambil meneriakkan kalimat :”Banjir… banjir…!! Tanggul
Jebol…!!” Hanya dalam hitungan detik, air yang semula mengalir kecil dan tenang
di jalan depan rumah telah berubah menjadi besar dan deras dengan warnanya yang
hitam kecoklatan, mengalir dari arah utara ke selatan, sejajar dengan aliran
arus sungai utama di sebelah barat perumahan. Dengan cepat pula air keruh itu
masuk kedalam rumah lewat saluran pembuangan air rumah tangga maupun melalui celah-celah
dibawah daun pintu ruang depan dan studio. Hanya dalam jangka waktu tidak lebih
dari 10 menit, air dingin yang berwarna coklat tua itu sudah mencapai
ketinggian sekitar 70 cm dari lantai rumah. Tanpa sempat membereskan
barang-barang yang perlu diamankan dari jangkauan air, di ruang tamu, isteriku
hanya bisa berdiri seraya mendekap tubuh si kecil Ading. Tak ada lantai dua
untuk bisa naik keatas karena memang aku belum mampu untuk membuatnya Semenjak
menempati rumah yang kuperoleh melalui kredit KPR BTN ini, aku memang belum
mampu membuat rumah tingkat. Jangankan membangun loteng, untuk menambah ruang
kamar tidur, gudang dan studio pada tahun 2004 dari tanah yang tersisa saja,
aku dan isteriku harus pandai-pandai memenej pendapatan keluarga, yang
terealisasi dalam bentuk tabungan. Kukatakan hal ini bukan berarti aku mengeluh, namun faktanya
memang demikian. Tak terbersit sedikitpun dihatiku gumpalan-gumpalan perasaan
negatif dan pesimis yang dapat melemahkan semangat hidup. Sebaliknya, sejak
kecil orang tuaku telah mengajari anak-anaknya tentang bagaimana menghadapi
hidup yang keras ini, bagaimana membangun tekat dan spirit agar langkah kita
senantiasa bisa tegap dengan sorot mata tajam kedepan, bagaimana caranya
menggodok jiwa dan otak supaya tahan banting, tak gampang putus asa, bagaimana
pula caranya mengerahkan segala daya dan kemampuan yang ada agar senantiasa
terlatih dan terasah untuk bekal hidup, dan sekaligus sebagai ungkapan rasa
syukur kepada yang memberi hidup kita, Allah SWT.
Tampak ekspresi ketakutan
diraut wajah bulat dari anakku yang nomer dua ini, Aku dan Dias yang sebelumnya
berusaha menutup celah-celah bawah pintu dengan kain kaos seadanya ternyata
sia-sia. Kursi sudut di ruangan ini mulai bergerak karena ketinggian air terus
naik dari sentimeter ke sentimeter. Meja kayu pendek yang melengkapi kursi
sudut pun mulai terguling serta kursi pendek yang lain mengambang bersama
beberapa buku, majalah, kertas-kertas Koran dan sandal. Otakku spontan berpikir
pada saluran-saluran listrik di dalam rumah. Bersamaan dengan bunyi satu
persatu perabotan rumah yang jatuh terangkat air, aku bergegas menuju ruang
dapur dan studio, dimana banyak lampu dan alat elektronik yang masih menancap
di stop kontak listrik. Cukup sulit menuju dua ruangan ini karena selain air
bah kian meninggi juga terhalang oleh perabot-perabot yang mengapung. Di ruang
dapur, kucabut kabel listrik kulkas dan mesin cuci dari stop kontaknya sesaat
sebelum barang bermesin itu oleng dan jatuh kearahku, lalu aku bergegas menuju
studio. Dalam keadaan seperti ini seakan kurasakan kekuatan tenagaku menjadi
dua kali lipat besarnya. Peralatan drum yang menutupi pintu tembus studio
dengan cepat kusingkirkan, supaya aku segera dapat meraih kabel lampu dan
speaker kontrol untuk kulepas saluran listriknya. Sejenak aku berhenti sambil
memandangi ruangan musik yang tengah tergenang air setinggi hampir satu meter.
Bass drum, snare dan tom terus bergoyang-goyang dan mengapung, lalu mulai
benpencar sendiri-sendiri seiring senandung hujan diluar yang masih turun
lebat, dan bergabung dengan salon speaker, buku-buku nyanyian dan kursi plastik
untuk berdansa. Bak konvoi sepeda motor di jalan raya, kebisingan suasana
semakin lengkap dengan robohnya almari-almari besar yang berisi pakaian dan
dokumen penting seperti ijazah, piagam dan SK, yang terdengar dari arah ruang
kamar belakang. Ini adalah sebuah langkah perjuangan, dibutuhkan ikhtiar untuk
dapat meraih keberhasilan, gumanku dalam hati. Akan tetapi kenyataan di depan
mata kian membuat gundah suasana batin. Ahh, ini ujian yang sangat berat,
cobaan yang tidak cukup hanya dengan mengandalkan otak dan tenaga, ini butuh
pertolongan diatas ke-maksimal-an kemampuan logika manusia, dan itu adalah doa.
Dalam situasi darurat seperti ini ada yang lebih utama dari sekedar mengamankan
dokumen dan barang penting, yaitu menyelamatkan “bondo roso”. Harta bondo roso tidak dapat dinilai dengan dolar atau
rupiah seberapapun jumlahnya, harta bondo roso tidak bisa ditukar dengan
ratusan hektar tanah maupun gedung-gedung bertingkat, harta bondo roso tidak
dapat digadai dengan iming-iming pangkat atau emas berlian, harta bondo roso
adalah sejarah pengorbanan hidup anak manusia serta hasil pertalian batin dan
kasih sayang, harta “bondo roso” itu adalah istri dan kedua anakku. Kudengar
berkali-kali isteriku menyebut kebesaran nama Tuhan “Allahu’akbar”, dan
ber-shalawat tiada henti. Beberapa benda tajam seperti menggores lengan
tanganku, aku tak peduli, aku harus segera bergegas kembali ke ruang tamu untuk
berkumpul bersama isteri dan anakku.
Kini air bah sudah mencapai
leher anakku yang kecil, Ading, berarti ketinggian air bah dari lantai rumah sekitar
1 meter. Perasaanku bercampur aduk tidak karuhan, otakku kalut dan tegang,
lebih-lebih melihat si kecil yang mulai menggigil kedinginan. Ya, dia sejak
kecil memang belum banyak kuperkenalkan dengan kolam renang, sungai , pantai maupun
sifat-sifat air lain yang mengalir. Diluar rumah, gemuruh arus air mengalir
dengan suaranya yang riuh rendah terdengar sangat mengerikan. Dibalik kekalutan
pikiranku yang tengah berada dalam situasi sulit seperti ini, tiba-tiba muncul
magnet yang menarik memori perjalanan kehidupanku surut ke kisaran tahun 80-an.
Saat itu dapat dikatakan bahwa julukan yang sering digunakan oleh teman-teman
sepermainanku di kota Malang adalah “group si anak sungai”. Seperti nama tersebut, sungai adalah tempat yang
paling menyenangkan untuk bermain. Tak satupun kolam pemandian dan sungai yang
terlewatkan dari kegemaranku berenang. Aku paling menyukai salah satu permainan
di air yaitu “jumpritan air (tangkap
lawan di air)”. Permainan ini dapat dilakukan oleh 4 anak atau lebih. Cara
bermain jumpritan air, yang pertama dilakukan adalah dengan “hompimpah (bolak balik telapak tangan
untuk mendapatkan siapa yang kalah)”. Kemudian bagi yang kalah dalam hompimpah
harus diam beberapa menit di tepi sungai untuk jaga sesaat, sementara yang
lainnya mulai sembunyi di dalam air atau menjauh dari yang sedang jaga. Setelah
itu teman yang jaga tadi mulai mengejar salah satu yang dianggap paling dekat
jaraknya, bisa dengan menyelam atau berenang diatas air. Kejar mengejar di air
sungai atau kolam renang inilah permainan yang sangat menyenangkan. Apabila ada
salah satu yang tertangkap maka permainan dimulai lagi, dan yang jaga
digantikan dengan teman yang lebih dahulu tertangkap tersebut. Selain bermain
jumpritan air, ramai-ramai menyelam dan muncul didalam “grojokan (air terjun)” juga tidak kalah mengasyikkan, termasuk “ngintir (ikut arus sungai)” hingga masuk
ke dalam terowongan besar. Di salah satu saluran anak sungai brantas yang
mengalir membelah kota Malang, terdapat terowongan air yang
dinamakan “kadal pang (nama terowongan air sungai brantas yang terletak di sebelah
pabrik es Dinoyo Malang)”. Terowongan itu sangat lebar dengan radius sekitar 5
meter. Aku dan teman-teman sepermainan hampir setiap minggu berenang di aliran
sungai brantas tersebut hingga memasuki terowongan kadal pang. Tidak ada yang
mengajariku secara khusus bagaimana cara berenang itu, hanya kebiasaan sejak
kecil bermain di sungai, lama-lama bisa berenang. Tanpa petunjuk maupun
teori-teori seperti atlit renang, aku dan teman-teman secara otodidak mampu
mempraktekkan renang dengan beberapa gaya, seperti
gaya kupu-kupu, gaya
punggung, gaya dada maupun gaya bebas. Dengan berbekal tekat dan
keberanian serta mempelajari situasi air secara naluri, resiko kecelakaan
didalam air seperti kram atau cedera terkena kayu maupun batu, dapat segera
diatasi dengan cepat secara alamiah dan bergotong royong. Selain gemar mandi di
sungai, sasaranku bermain air adalah pergi ke pemandian-pemandian, seperti
Sengkaling, Metro, Ken Dedes, dan yang paling sering kudatangi adalah pemandian
Wendit yang berjarak 3 km arah timur pasar Blimbing Malang. Pemandian Wendit
memiliki sumber air yang besar yang memancar dari kolam renang sebelah timur. Selain itu tempat
ini merupakan salah satu lokasi wisata
bagi warga kota Malang, turis domestik maupun manca Negara. Lokasinya
sangat asri dengan pohon-pohon besar dan puluhan kera yang jinak. Kolam renang
yang tersedia di Wendit ini beraneka ragam, dari yang paling dangkal untuk
anak-anak hingga yang terdalam bagi orang
dewasa yang hobby berenang.
Aku tersentak dari lamunan kala
anakku yang sulung, Dias teriak lirih dan mengaduh. Jari tangannya di gigit
seekor tikus yang berlari-lari ketakutan diatas almari buffet saat Dias
berpegangan pada tepi almari itu.
“Jangan diceburkan ke air,
tikus itu juga sedang menyelamatkan diri, kasihan,” kata isteriku kepada Dias.
Aku juga berusaha memberikan ketenangan batin, terutama kepada si kecil Ading.
Kukatakan bahwa sebentar lagi air akan surut seiring hujan yang mulai reda.
Ruang tamu yang berukuran 3 X 5 meter ini sudah hampir setengah jam memantulkan
doa-doa dan shalawat tanpa henti dari bibir kami berempat.
“Adik nggak apa-apa kan?” bisik isteriku
seraya mendekap Ading.
“Gak apa-apa, adik hanya agak
sesak bernafas,” jawab Ading dengan suara lirih dan terdengar gemetar karena
kedinginan. Ya Tuhan, aku tidak tega melihat raut wajah kecil ini, hanya
kepalanya yang pucat saja nampat dipermukaan air.
“Ya Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, maafkan atas segala dosa dan khilafku. Aku memohon
kepadaMu, berilah pertolongan dan anugerahMu kepada isteri dan kedua anakku,
terutama kepada si kecil Ading yang kurasa belum saatnya menerima beban seberat
ini. Maafkan aku ya Allah,” lirih batinku menjerit. Beberapa kali aku menggigil
oleh dinginnya air bah malam ini, dan aku bisa bayangkan bagaimana dengan
anakku yang kecil, yang lewat dari setengah jam tubuhnya terendam di air. Jam
dinding ruang tamu yang menempel cukup tinggi menunjukkan pukul 00.40 WIB. Dias
juga terlihat cemas dan waspada, dengan tangkas tangannya meraih dan mengangkat
tubuh adiknya lalu ia gendong disamping, agar tubuh Ading tidak terlalu masuk
kedalam air.
Perhatianku saat ini terpecah
menjadi dua, yakni kondisi air bah yang terus meninggi mendekati stop kontak
listrik ruang tamu serta kepada si kecil yang mulai mengeluh karena ketinggian
air sudah mencapai lehernya. Aku berpikir bahwa jalan satu-satunya mengatasi
keadaan darurat seperti ini adalah dengan memutuskan aliran arus pendek
listrik. Spontanitas Dias kusuruh menyiram stop kontak dengan air ditangannya,
dengan harapan bisa terjadi “korsluiting” antara arus plus dan minus sehingga
listrik bisa padam. Namun yang terjadi tidak seperti yang kukira, tidak ada
tanda-tanda arus listrik putus bahkan lampu ruang tamu tak berkedip sedikitpun
dari nyalanya yang terang. Urusan dengan setrum AC maupun DC memang menakutkan
bagiku, sehingga aku tidak mengetahui secara detail sifatnya serta cara-cara
mengatasinya apabila terjadi masalah. Yang aku tahu bahwa bermain-main dengan
listrik itu merupakan pekerjaan yang sangat membahayakan.
Almari buffet ruang tamu yang
digunakan isteriku untuk menyimpan barang pecah belah seperti piring, gelas dan
“mangkok beling” tampak mulai bergoyang-goyang
di sudut ruangan, tidak mampu melawan volume air, dan sesaat kemudian dengan perlahan
dan lembut mulai jatuh terbalik. Seekor tikus yang sedang berputar-putar
diatasnya seketika melompat keatas kursi sudut yang mengapung. Aku melirik
tongkat kayu panjang yang biasanya digunakan Dias berlatih silat, tengah timbul
tenggelam dipermukaan air. Otakku terus kuperas untuk mencari solusi-solusi
agar bisa kugunakan untuk mengatasi problema “keselamatan hidup” malam ini. Kuraih
tongkat itu, kemudian aku mendekat ke jendela depan. Sambil menyelam aku
membuka kunci grendel jendela yang terletak dibawah, kemudian dibantu dorongan
tongkat yang bertumpu pada tepi dinding, tubuhku mulai mendorong daun jendela
agar bisa terbuka. Rencananya, aku akan keluar melalui jendela, selain untuk
mematikan skakel listrik utama yang terletak didinding teras rumah, juga untuk
mengamati suasana luar rumah barangkali masih mungkin untuk keluargaku
mengamankan diri menuju lantai II mushola Al-Ikhlas di sebelah utara rumahku.
Jangankan untuk terbuka lebar, jendela yang kudorong dengan tubuhku itu tak
bergerak sedikitpun akibat tekanan air bah dari arah luar yang sangat kuat. Pikiranku
semakin cemas, ternyata air tidak kunjung susut akan tetapi semakin naik. Untuk
mengantisipasi kedalaman air diruangan ini, almari buffet yang telah jatuh
miring kugunakan untuk tempat berpijak. Berempat kami naik diatas punggung
buffet dengan berpegangan tangan dan mengambil posisi masing-masing berada
ditepi agar keseimbangan beban tetap terjaga. Dan yang lebih mencemaskan lagi
bagiku adalah permukaan air yang terus mendekati stop kontak listrik. Aku
memang tidak paham betul perihal berapa daya arus “strom” manakala berada
didalam air, yang kuingat sekilas hanya saat melihat orang mencari ikan di
sungai menggunakan alat strom. Dengan berjalan menyusuri sungai yang dangkal,
mereka gampang sekali memperoleh ikan dengan mencelupkan dua tangkai alat yang
sudah dialiri plus minus strom. Hanya dalam hitungan detik ikan-ikan kecil
sudah terlihat menggelepar bergelimpangan di permukaan air. Mereka tinggal
mengambilnya dengan “serok-ikan” untuk dimasukkan kedalam keranjang.
Kamis, 20 April 2006, pukul
01.20 WIB
(04)
Tertolong
hamba Allah
Detik ke detik menuju ke saat
yang mencekam itupun tiba, “Allahu ‘Akbar” Allah Maha Besar. Bayangan kengerian
yang mendera benakku sedikit tertepis. Ternyata tidak ada sengatan arus listrik
di dalam air yang mengenai tubuhku maupun anak isteri ketika stop kontak mulai
terendam, hanya lampu ruang tamu nyalanya berkedip-kedip tidak normal. Ruangan
yang mulai sesak oleh air dan benda-benda yang mengapung ini masih nyaring
memantulkan doa-doa dan shalawat dari bibir kami yang gemetar karena
kedinginan, berpadu dengan bel rumah yang terus menerus berbunyi akibat
baterainya mulai terendam air.
Sampai kapankah kami bisa
bertahan dengan keadaan seperti ini, sedangkan permukaan air bah masih
menunjukkan tanda-tanda terus naik? Apa yang bakal terjadi apabila batas usaha
dan kemampuan kami sudah maksimal akan tetapi keadaan teramat sulit? Bagimana
dengan si kecil Ading yang bibirnya semakin pucat dan badannya menggigil
kedinginan? Bagaimana pula dengan isteriku yang tidak mengerti cara berenang? Berkali-kali
batinku bertanya entah kepada siapa.
Tidak…!! Apapun yang bakal
terjadi aku harus tetap berusaha untuk menyelamatkan keluargaku dari musibah
air ini. Mataku tertuju pada ventilasi udara diatas pintu. Ini jalan sementara
dan satu-satunya, pikirku. Aku akan mengomando Dias yang sudah terbiasa
berlatih berenang untuk membawa renang adiknya mencapai ventilasi udara sebagai
tempat pegangan tangan, dan aku sendiri akan membawa isteriku untuk menuju ketempat
itu pula. Artinya aku dan Dias yang bisa berenang akan berbagi tugas. Di
dinding jarum jam menunjukkan pukul 00.57 WIB. Ketinggian air telah mencapai
pundak anakku yang kecil, berarti apabila ditambah buffet tempat kami berdiri,
maka kedalaman air di ruang tamu ini sekitar 180 cm. Dias mencoba menjaga
keseimbangan buffet dengan kaki kanan bertumpu pada dinding, akan tetapi karena
kondisi air terus naik, buffet tempat kami berdiri mulai bergoyang dan
bergeser. Aku memprediksi apabila air masih tetap bertambah maka buffet akan
melayang, keseimbangan akan hilang dan kami berempat pasti terjatuh dikedalaman
air.
“Iki piye pak, buffet-e wis obah-obah, Ading
piye iki mengko? (Ini bagaimana pak, buffet sudah mulai bergoyang, Ading
bagaimana ini nanti?)” ucap isteriku gusar melihat keadaan yang semakin
menghawatirkan. Aku hanya termangu tanpa bisa menjawab, bibirku seakan terbungkam
oleh aneka macam kecamuk pikiran-pikiran miris diotakku. Aku membisu, sebisu
dinding ruangan yang menjadi saksi kegoncangan jiwa anak manusia yang tengah
diuji oleh musibah banjir. Isteriku sepertinya juga tidak menunggu jawabanku,
karena sesaat kemudian dia kembali mengajak kedua anakku untuk kembali melantunkan
doa-doa dan shalawat, dengan suaranya yang menggigil karena kedinginan.
Tuhan Maha Agung, Tuhan tidak
akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambaNya. Kumandang shalawat
dan doa kami telah membawa seorang hamba Allah mendekati ruangan dimana kami
terkurung air bah.
“Pak Didiek…!!??” teriak
seseorang dari arah luar. Aku terkejut sekaligus batinku mengucap syukur
alhamdulillah, aku yakin ini adalah barokah Allah SWT.
“Iya pak, ini saya bersama
anak-anak didalam…!!” teriakku juga menjawab.
Ternyata orang tersebut adalah
pak Mislani, tetanggaku yang bertempat tinggal di blok C, yang saat ini tengah
bergelantungan di joglo teras rumahku.
“Masya’allah..” ucap pak
Mislani, “Bagaimana ini saya harus membantu..?”
“Tolong pak Mis, skakel listrik
yang ada diatas jendela panjenengan matikan dahulu,” kataku mulai mengomando
dari dalam.
“Maaf pak Didiek, saya tidak
bisa mencapai kesana karena tidak ada tempat berpegang,” jawab pak Mislani.
Ya aku maklum, air sudah
setinggi hampir 2 meter, terlebih arus air diluar sangat deras sehingga cukup
sulit bagi pak Mislani untuk mendekati skakel listrik, termasuk resiko arus
listrik tegangan tinggi yang sangat membahayakan. Kemudian aku mulai berusaha
memberi petunjuk langkah-langkah pak Mislani dalam rangka menolong kami keluar
dari jebakan air yang ganas. Setelah pintu studio tidak bisa dibuka, aku bilang
ke pak Mislani supaya beliau naik keatas rumah untuk membongkar genteng dan
atap ruangan. Sesaat kemudian sudah kudengar suara telapak kaki yang berjalan
tergesa-gesa diatas genteng rumah. Kelihatannya orang asli Banyuwangi ini cukup
cekatan dalam bergerak seiring teriakan komandoku untuk mengarahkan sasaran
yang tepat. Setelah kayu-kayu reng penyangga genteng dipatahkan, kudengar
dengan jelas bunyi pijakan telapak kaki berjalan dikayu usuk plafon atap
ruangan dimana kami berada.
“Dimana saya harus bisa turun
pak Didiek?!!” teriak pak Mislani.
“Dijebol saja pak asbesnya..!!”
Dengan gerak cepat pak Mislani
menjebol asbes, dan potongan-potongannya meluncur kebawah, sebagian ada yang
mengenai keningku. Aku tak mempedulikan, yang penting bagiku jalan keluar untuk
menyelamatkan keluargaku dari air bah yang terus meninggi segera bisa
dilaksanakan. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana anakku sulung Dias
menguras tenaganya dengan menggendong dari samping tubuh adiknya, karena
ketinggian air di ruangan ini sudah mendekati 2 meter. Empat sisi asbes kini
telah terbuka. Pak Mislani mulai berusaha turun mendekat dengan bergelantungan
di kayu usuk plafon, sementara diatas juga kulihat dua orang yang bersiap-siap
membantu. Tubuh anakku yang kecil, Ading diangkat oleh Dias dan sesaat kemudian
diraih oleh tangan kanan pak Mislani. Aku kagum akan kekuatan fisik tetanggaku
ini. Meski tubuhnya sedang-sedang saja, beliau mampu menggendong anakku Ading
dengan bergelantungan menggunakan tangan kiri saja. Ada sedikit ketenangan dalam
batinku melihat keadaan yang mulai berangsur sedikit demi sedikit teratasi.
Mataku mulai tajam menatap rangkaian kayu ventilasi pintu rumah, nah ini
langkah darurat sementara untuk bergelantungan sesaat di ventilasi sambil
menunggu giliran untuk mendapatkan bantuan pertolongan, demikian otakku mulai
berputar. Namun terdapat kendala, karena jarak tempatku berdiri di buffet
dengan ventilasi sekitar 75 cm. Lantas aku bicara singkat ke istriku agar sementara
ia tetap berdiri di buffet dg bersandar di dinding, dan aku sesaat akan menuju
ventilasi, sesudah itu seperti gambaran otakku semula, aku akan membantu dengan
menjulurkan satu tangan atau kaki ke arah istriku, supaya ia bisa berpegangan
untuk menuju ventilasi. Setelah isteriku mengangguk, perlahan-lahan aku mulai
turun dari buffet, masuk kedalam air dan jongkok di ubin ruangan. Sekejap saja
aku sudah meluncur keatas setelah kedua kakiku menekan kuat ubin dengan gaya
meloncat didalam air. Berhasil, kayu ventilasi dapat kuraih dengan tangan
kananku. Segera mataku terarah pada posisi dimana isteriku tadi berdiri, namun
betapa gusarnya hatiku, isteriku sudah tidak kelihatan ditempat semula. Dan
lebih terkejut lagi kala kulihat anakku yang kecil Ading tengah timbul tenggelam
di air dalam ruangan. Apa gerangan yang sedang terjadi???
Ternyata bersamaan dengan aku
menyelam untuk bersiap-siap meloncat kearah ventilasi pintu, genggaman jari tangan
pak Mislani yang bergelantungan diatas lepas dari kayu usuk dan meluncur jatuh
ke dalam air bersama si kecil Ading yang berada dalam gendongannya. Dias dan
ibunya yang tahu persis bagaimana pak Mislani dan Ading terjatuh ke air,
spontan keduanya meluncur dan mengangkat tinggi-tinggi tubuh Ading agar tidak
tenggelam. Belum sempat aku bergerak berenang untuk membantu mengamankan si
kecil dan ibunya, pak Mislani sudah meloncat seperti burung terbang, secepat
kilat bergelantungan di usuk plafon serta meraih tubuh si kecil Ading dan
diangkatnya serta keatas. Si sulung Dias muncul dari dalam air seraya berteriak
“Ibuukk… ibuukk…!!”. Hampir bersamaan dengan suara teriakan Dias, kepala
isteriku mulai timbul dan bergerak-gerak di permukaan air. Seketika kuraih
bahunya dan kuangkat, kemudian tangannya kusuruh ikut berpegangan di kayu
ventilasi. Kutatap wajah isteriku yang terlihat kelelahan, dan berkali-kali
memuntahkan air keruh dari muludnya. Sebagai lelaki aku merenung, betapa
pengorbanan seorang ibu bagi anaknya, yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Ya, ibu… siapapun dia, adalah orang-orang yang wajib untuk mendapatkan kasih
sayang dan penghormatan dari setiap anak-anaknya. Sebab pengorbanan seorang ibu
itu tanpa batas, sejak mulai mengandung, melahirkan sampai membesarkannya,
penuh cinta kasih, besar hati, penuh keikhlasan dan tanpa pamrih.
Allahu’akbar, saat-saat yang
mencekam bertarung melawan keganasan air satu persatu mulai teratasi. Yang Maha
Kuasa memberikan pertolongan kepada hambanya yang sedang dalam kesulitan,
mendengarkan hambanya yang melantunkan doa-doa dan shalawat tiada henti. Maha
Besar Allah, Allahu’akbar. Setelah Ading ditempatkan dalam posisi aman oleh pak
Mislani yang dibantu mas Wisnu dan adiknya bu Endah, satu demi satu, isteriku,
aku dan Dias dituntun arah oleh pak Mislani merayap diatas genteng menuju
lantai dua rumah tetanggaku, pak Harmanto. Ternyata disini juga berkumpul para
tetangga yang lebih dahulu berhasil menyelamatkan diri dari banjir bandang.
Tercatat ada bu Anik Nuryanto, bu Mislani dan dua orang putranya, Aflah dan
Anggi, bu Pardono, bu Endah se keluarga, pak Bakri serta beberapa anak pelajar
yang kost. Informasi dari pak Mislani bahwa keluarga Sinawang lain yang selamat
dan sekarang berada dilantai atas mushola Al-Ikhlas adalah bapak dan ibu Nyoto
serta pak Sukani.
Kulihat baju kaos putih yang
kukenakan banyak tercecer noda darah. Aku baru menyadari kalau tanganku
terluka, entah terkena benda tajam, paku atau mungkin pecahan kaca, aku tidak
ingat. Yang aku tahu saat ini lukanya mulai terasa perih dan terus mengeluarkan
darah. Syukur di ruang atas ini aku melihat ada minyak tanah di lampu “cublik” di
sudut ruangan. Menggunakan baju kaos basah yang kupakai, kubasuh lukaku dengan
minyak tanah, agar luka tidak terinveksi, dan kemudian kuikat dengan saputangan
untuk menghambat darah yang terus menetes. Pukul 03.00 dini hari tanda-tanda
air surut mulai kelihatan. Meskipun sinyal HP mengalami gangguan total sejak
pukul 01.00, namun semangat koordinasi antar warga tetap berjalan melalui
koordinator spontanitas, yaitu dik Yono, pak Rudi Yola dan bapak Mislani,
meskipun beliau-beliau harus berjuang dengan cara berenang di derasnya arus air
bah yang tingginya tidak kurang dari 3 meter.
Waktu bergulir dengan cepat,
sinar mentari pagi telah menghangatkan bumi dengan sinarnya. Dari lantai dua
rumah pak Harmanto kulihat pemandangan yang porak poranda melingkupi lokasi
perumahan Sinawang Indah dan sekitarnya. Yaa… Sinawang Indah, yang mengalami
perubahan hanya dalam semalam, menjadi Sinawang kumuh, ahh kasihan. Luka
ditanganku semakin terasa perih dan saputangan sebagai pembalutnya sudah
berubah warnanya menjadi merah tua. Menjemput jam 08.30 WIB kepalaku terasa
bergoyang dan mata berkunang-kunang, kemudian semua yang kulihat menjadi gelap.
Kesadaranku kembali pulih saat aku berada di pembaringan Rumah Sakit Mardi
Mulya, dengan tangan dibungkus verban usai lukanya dijahit serta jarum infus
diatas tempat tidurku.
Bagaikan mimpi yang indah,
dikelopak mataku jelas terpampang wajah isteriku yang berbinar-binar menatap
kedua anakku Dias Agusta dan Ading Agusta tengah bergembira bermain musik di
studio sebelah rumah induk, dan itu…. kemarin. Kini aku tenggelam dalam doa dan
ucap lirih :”Tabahkan hatimu anak-anakku sayang, Allah Maha Tahu dan Maha
Pengasih. Ayah akan kembali berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan kembali
sarana hobby musikmu, dengan bekerja apapun yang penting barokah, dengan
segenap waktu dan kemampuan yang ada.”
Di akhir tulisan, kugoreskan
sebait lagu dari group rock legend God Bless, sebagai pelengkap semangat dalam
menghadapi kehidupan ini :
“Lebih
baik disini… rumah kita sendiri….
Segala
nikmat dan karunia Yang Kuasa….
Semuanya…
ada disini…..
Rumah
kita…. Rumah kita……”
(penulis, pada tahun 2013 ini turut berbela
sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada kerabat/saudara yang tercover secara
langsung maupun tidak di alur cerita ini, khususnya bagi keluarga besar
Perumahan Sinawang Indah serta personil group Orchestra Jabalkat, yakni kepada
alm. Bapak H. Rifana Zainuddin (Pembina Jabalkat) serta alm. Yoyok (anggota
Jabalkat), alm. Bapak Sunyoto (Sinawang Indah), alm. Ibu Hajar Subiyakta
(Sinawang Indah), alm. Ibu Pardono (Sinawang Indah), yang telah berpulang
kehadirat Illahi. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT, amin.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Solammi comment