Rabu, 06 Februari 2013

banjir bandang trenggalek 2006


SEMALAM DALAM HIKMAH
(Cerita ini kutulis pada minggu pertama bulan Mei 2006)

Rabu 19 April 2006, pukul 19.00 WIB.
(01)    Hujan deras mengguyur kota Trenggalek

Sejak usai sholat Isya’, hujan yang mengguyur kota Trenggalek semakin deras. Tampak sesekali langit putih menyala, dan sesaat kemudian suara gemuruh menggelegar terdengar menggetarkan kaca jendela. Di kursi plastik warna merah aku tengah duduk gelisah dengan pandangan mata kosong menerawang gelapnya langit malam. Sebatang rokok di bibir kuhisap dalam-dalam, perlahan kuhembuskan asapnya yang menari bergumpal-gumpal di udara. Tak beberapa lama kemudian asap pembakaran yang mengandung nikotin itu telah  membungkus badanku, seakan ikut membalut kegalauan dihati yang menyimpan seribu misteri.
Aku terjaga dari lamunan oleh kerasnya aroma kapur barus yang menusuk hidung. Memang, sepanjang siang tadi aku telah melakukan peperangan sengit melawan rayap-rayap yang ganas. Bermodalkan tabung semprot plastik yang telah kuisi minyak tanah dan kapur barus, kususuri setiap sudut rumah untuk menyemprot sarang dan jalur rayap. Sudah banyak perkakas rumah tangga dari kayu, seperti meja belajar anakku, almari baju, buffet serta beberapa buah kursi telah rusak oleh keganasan liur rayap. Bilamana beberapa hari tidak berpacu melawan rayap maka dapat dipastikan rumah rayap sudah setinggi atap. Meski rasa benciku teramat memuncak terhadap binatang yang bernama rayap ini, namun filosofi semangat dan tekad rayap memang kuakui luar biasa. Rayap-rayap memiliki naluri baja, gerak langkahnya tak kenal menyerah. Pola kerja dan semangat  rayap inilah yang barangkali perlu ditiru oleh budaya negeriku, asalkan tidak mencontoh kerakusannya. Sifat rakus dari perilaku rayap ini manakala membudaya di kalangan masyarakat jelas akan merusak moral anak negeri. Sebab ketamakan perilaku rayap ini sifatnya membabi buta, menghalalkan segala cara, tidak perduli bahwa efek yang ditimbulkannya akan membuat orang lain menderita. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita bangsa yang merdeka dan berdaulat, dapat memudarkan semangat nasionalisme dan patriotisme dalam membangun manusia seutuhnya yang berkesinambungan di segala bidang.
Aku jadi teringat akan syair lagu Pop Indonesia karya Mugi Darusman berjudul “Rayap-rayap”, yang pernah meledak di era tahun 80-an. Dan konon waktu itu peredaran album tersebut sempat dibredel oleh penguasa orde baru karena isi syairnya dianggap sangat oposisi. Bahkan Mugi Darusman sendiri akhirnya terpaksa menetap di benua Kanguru Australia tanpa ada pemberitaan yang jelas mengenai dirinya. Beberapa potongan syair lagu “rayap-rayap” berbunyi :

“Ku tahu rayap-rayap sangat banyak di negeri kita,
Merayap bergandengan memakan apa saja,
Rayap-rayap yang ganas merayap,
Ber jas dasi dalam kantor makan minum darah rakyat….”

Aku tak jenak duduk. Untuk sedikit menghibur kegalauan dihati, jari jemari tanganku mulai menari-nari diatas tuts piano. Petikan arpeggio dalam birama 4/4 yang biasa kumainkan perlahan-lahan terdengar dari kontrol salon speaker aktif berukuran sedang, disudut studio. Sayup-sayup instrumentalia yang kumainkan melalui piano tunggal mulai membentuk sebuah intro lagu, seiring jemariku yang menyusuri 5 oktaf di nada dasar F. Satu tembang  sweet-mellow bertitel “Esok kan masih ada” dari hits album Utha Likumahua kini mengumandang dan memantulkan gaung lembut di dinding studio yang belum kupasang karpet peredam.
Sudah hampir dua bulan ini ruangan di sebelah kiri rumah induk kupergunakan untuk studio tempat latihan bermain musik. Meskipun fasilitasnya masih sangat sederhana akan tetapi menurutku sudah cukup lumayan untuk berlatih musik, baik untuk latihan group band maupun shalawat dan rebana kreasi. Bagiku, tempat ini merupakan kebanggaan tersendiri, rasa syukur sebagai perwujudan gelora musikku yang senantiasa tak pernah luntur sejak aku masih remaja. Hal ini juga ditunjang pula oleh prestasi musik anak sulungku, Dias Agusta yang semakin tahun kian meningkat, sehingga aku semakin termotivasi untuk dapat mengantarkan bakat anakku agar kelak bisa mencapai sukses. Ada semacam kekuatan rasa dibatinku bahwa suatu saat anakku mampu mencapai puncak prestasi musiknya, mampu berkarya dan bekerja dengan gemilang, mampu melanjutkan cita-cita ayahnya sehingga kelak dapat menjadi figur musisi yang handal, yang kreatif dan “mumpuni”. Dan yang tidak kalah penting adalah jauh dari pengaruh kehidupan narkoba, kenapa? Ya, kita semua tahu bahwa hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, karena penyebarannya sudah hampir tak bisa dicegah lagi. Tentu saja masyarakat, orang tua dan pemerintah dibuat sangat khawatir dengan masalah ini. Salah satu upaya yang paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan narkoba adalah melalui pendidikan keluarga.
Mungkin bukan sesuatu yang berlebihan mengharapkan anakku menjadi “musisi yang beriman”, sebab potensi ke arah itu sepertinya bisa dilalui. Aku tahu persis dengan karakter isteriku yang terbiasa “digodok” di almamaternya pondok pesantren. Karenanya, kedua anakku sejak kecil sudah dilatih mengerjakan shalat wajib lima waktu  dan belajar mengaji. Bahkan Dias secara privat dicarikan guru khusus belajar kitab suci Al-Qur’an. Di dunia musik, Dias mengawali perjalanan langkah musiknya sejak di bangku Sekolah Dasar kelas IV, bergabung bersama Group band anak-anak “Deddy’s Junior Band” SDN 3 Ngantru Trenggalek. Meskipun dari faktor usia masih kelihatan sangat kecil, namun Dias dan teman-bandnya pernah mengantongi predikat “Group Band ter Favorit” dalam ajang festival Band Pelajar se Ex Karesidenan Kediri pada Tahun 2000. Merangkak namun pasti, barangkali itu sebutan yang pas untuk Dias cs ditahun-tahun awal melangkahkan kaki dikancah band anak2. Torehan prestasi musik satu demi satu berdatangan dan terus berkelanjutan sampai masuk ke sekolah lanjutan.  Sewaktu di bangku SLTP, band barunya yang diberi nama “Radiyos Band” SMP Negeri 1 Trenggalek telah berhasil membawa nama harum almamaternya maupun kabupaten Trenggalek, karena mampu secara berturut-turut menjadi Juara II Tingkat Jawa Timur pada even “Festival Band Pelajar SLTP se Jawa Timur” di SMKN 9 Surabaya tahun 2003 dan 2004, setelah menyisihkan sekitar 60 group band SLTP dari berbagai Kabupaten/kota se Jatim. Atas prestasi musik yang sudah diraih “Radiyos Band”, sekolah tempat Dias menuntut ilmu yakni SMP Negeri 1 Trenggalek mendapat bantuan peralatan musik lengkap dari Depdiknas Pusat. Masuk ke sekolah lanjutan atas, masih dengan prestasi yang sama yakni dibidang musik, Dias bersama teman-teman di group musik “Prigi band”, juga berhasil memperoleh prestasi yang mengagumkan bagi keharuman nama SMA Negeri 1 Trenggalek dengan meraih  “Juara III Tingkat Nasional” melalui Festival Band Pelajar Tingkat SLTA Se Indonesia yang berlangsung di Depdiknas Pusat Jakarta pada tahun 2005. Penyambutan keberhasilan ini dilakukan secara upacara resmi di depan pendopo kabupaten, bersama para pelajar lain dalam prestasi yang berbeda, yang diberikan langsung oleh Bupati Trenggalek.
Anakku yang nomor dua, Ading Agusta kelihatannya ingin mengikuti jejak kakaknya. Akan tetapi menurut pengamatanku, potensi si bungsu ini lebih tampak menonjol di seni lukis atau menggambar, “Tiada hari tanpa corat-coret”, demikian kegiatan sehari-hari di rumah. Untuk mewadahi hobby anakku yang satu ini, aku selalu siap dengan satu rim kertas HVS berukuran 80 serta berbagai peralatan menggambar, seperti spidol warna, pantel, crayon, cat air, pensil warna dan lain-lain. Namun begitu seperti juga kakaknya, si Ading mulai pula kuajari bermain musik, dan bersama teman-teman sekolah dikelas IV SDN 3 Ngantru Trenggalek,  membentuk kelompok Band anak-anak bernama Pertiwi Junior Band.

Selain kugunakan untuk memberi les musik secara privat maupun kelompok band khususnya bagi pelajar dan pemula, ruang studio juga kugunakan untuk menggembleng kelompok musikku yang bernafaskan Islami, yakni “Orchestra Jabalkat”. Ketua kelompok ini, bapak Ali Masruhin adalah sosok yang kreatif dengan ide-idenya yang cemerlang. Pak Ali, demikian nama panggilan kesehariannya sangat aktif terlibat langsung di Jabalkat sebagai vokalis dan pemain rebana, sekaligus bersamaku mengaransemen lagu-lagu untuk koleksi Jabalkat. Dengan bassic musikku yang nge-pop rock, jadilah Jabalkat sebagai kelompok shalawat yang mengusung aliran musik allround. Saat tampil di panggung dengan nuansa perpaduan padang pasir dan etnis jawa, sudah menjadi hal yang biasa manakala di beberapa lagu terkadang muncul irama blues, disco, rock maupun sedikit sentuhan irama jazz.
Dua tahun belakangan ini kondisi komposisi anggota Jabalkat dapat dikatakan cukup memprihatinkan karena beberapa personil mengundurkan diri. Ada yang bekerja ke luar Jawa, ada yang sibuk dengan rumahtangga barunya dan lain-lain. Puncak keterpurukan ini semakin jelas, ditandai dengan masuknya beberapa personil baru yang selain kurang memiliki disiplin, kemampuan musiknya sangat pas-pasan. Maka jangan berharap untuk memperoleh harmonisasi dalam komposisi lagu, Begitu pula dengan jadwal latihan maupun tempatnya semakin tidak teratur. Inilah yang kemudian mendorong naluriku untuk segera turut bertindak. Jabalkat harus bangkit kembali dan berjaya seperti empat tahun lalu, harus didukung personil yang sesuai dengan keahliannya, harus mampu mengelola jadwal latihan secara tertib dan disiplin, harus berani berkorban dan bertanggung jawab. Ada harapan yang besar dibenakku bahwa kelak Jabalkat akan menjadi Group orchestra shalawat terdepan dan terbesar di kota Trenggalek. Nama dan eksistensinya bisa sekelas Al-Gazas dari kota Tulungagung, dan kalau perlu bisa kembali bersepanggung seperti tahun 2002 dengan group musik shalawat kondang “Kyai Kanjeng” yang dikomandani oleh suami artis Novia Kolopaking yaitu Kyai Mbeling Cak Nun (Ainun Najib).
Alhamdulillah, berkat dorongan semangat dari pembina orchestra ini, bapak Rifana Zainuddin, “konco-konco” Jabalkat yang masih bertahan mulai introspeksi, menata kembali jadwal latihan serta mengatur rolling personil secara tepat.
“Ini adalah sebuah misi seni dan ibadah yang perlu dipertahankan dan dikembangkan,” demikian ucapan pak Rifana Zainuddin dalam suatu pertemuan personil Jabalkat di kediamannya, di Jalan Veteran (selatan masjid Darussalam) Trenggalek.

Jam di dinding sudah beranjak ke pukul 21.30 WIB. Beberapa lagu yang kumainkan sudah kusimpan di disket orgen. Aku tersenyum sendirian di studio saat mendengarkan aransemen musik dari lagu dangdut yang berjudul “pasrah” yang baru saja kubuat. Andai saja Muhsin Alatas yang mempopulerkan lagu tersebut mendengar aransemenku, beliau akan mengerutkan dahi, atau bisa jadi artis top dangdut tersebut akan tersenyum manggut-manggut, sebab hasil kreasiku yang nakal menjadikan lagu “pasrah” berganti irama menjadi rock jazz. Sudah ada puluhan lagu kudaur-ulang versi kenakalanku, baik itu lagu keroncong, dangdut, langgam, campursari, pop maupun lagu manca negara. Aliran musik kegemaranku sendiri condong ke beat kreatif dan rock, berkiblat pada musisi dan artis idolaku seperti Fariz RM, Billy Joel, Dian PP, Chrisye, Utha Likumahua, Michael Frank, George Benson, Van Hallen, Deep Purple, Queen, Scorpions dan God bless.
Dari balik kaca ruang studio musik, aku masih dapat menatap langit berkilauan oleh sinar kilat meluncur ke bumi, yang sesaat kemudian terdengar suara gemuruh menggelegar menusuk gendang telinga. Pohon bambu dan sukun diseberang jalan terlihat berdansa oleh terpaan angin yang cukup kencang, mengikuti irama symphony air hujan yang masih bertahan dengan derasnya.



Rabu 19 April 2006, pukul 23.00 WIB.
(02)    Ketinggian air sungai mencapai plengsengan

Tanpa terasa sudah  menginjak tahun ke-enam aku menempati rumah ini. Ya, perumahan Sinawang Indah yang selain lokasi yang strategis berada di pusat kota, suasananya cukup aman bagi warga yang masih memiliki anak kecil. Barangkali inilah sisi kelebihan Perumahan yang hanya memiliki 1 RT dan terdiri dari 41 kepala keluarga serta dihuni oleh banyak pendatang dari luar kota seperti Banyuwangi, Nganjuk, Klaten serta sebagian dari Trenggalek sendiri. Iklim kekeluargaan dalam bertetangga benar-benar terasa sangat kental, kompak serempak “guyup rukun” dalam berbagai kegiatan RT seperti arisan warga, kerja bakti, ronda malam maupun kegiatan sosial yang lain. Untuk urusan jaga keamanan lingkungan, hampir setiap malam tidak kurang dari empat orang kepala keluarga yang mangkal di pos kamling sejak pukul 22.00 hingga 03.00 dini hari. Kebetulan malam ini giliranku tugas jaga pamling bersama mas Yuli Priyanto, bapak Sirat dan kang Danang. Meskipun jadwal jaga sudah disusun oleh pak Nur Siadi selaku seksi keamanan RT, namun yang mangkal di pos kamling sering melebihi jumlah target. Hal ini dikarenakan besarnya kesadaran warga akan pentingnya faktor  keamanan lingkungan. Konsumsi yang tersedia pun tak lepas dari kopi panas maupun camilan ringan, yang jatahnya setiap malam digilir per kepala keluarga. Selain melaksanakan ronda keliling perumahan, sebagian teman jaga yang lain mengisi waktu dengan bermain catur di pos kamling.

Setelah kumatikan power piano ellectone, tiba-tiba muncul keinginan dibenakku untuk menulis SMS kepada bapak-bapak yang berdomisili di perumahan Sinawang.  Dengan HP Motorolla type C-380 milikku, aku mulai menulis baris demi baris kalimat dalam bahasa jawa yang berbunyi :
“Situasi mekaten punika rak nggih langkung waspada, utaminipun bab kondisi sungai. Monggo sami tirakat. (Situasi demikian ini sebaiknya lebih waspada, terutama mengenai keadaan/ kondisi air sungai. Mari bersama-sama tetap waspada/ terjaga”
Hampir sebagian kepala keluarga membalas smsku dengan tanggapan yang serius. Dik Yono (Enda Cahyono) misalnya, yang memberitahukanku bahwa dia sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota dan sudah memasuki desa Ngetal Pogalan. SMS yang ditulisnya berbunyi :
“Mengko tak kancani jaga mas, aku sik teka Ngetal. (Nanti kutemani jaga pamling mas, aku sekarang sudah memasuki desa Ngetal)”
Jawaban SMS yang lain datang dari pak Mislani, tetangga yang bertempat tinggal di Blok C :
“Inggih pak, maturnuwun. (Iya pak, terimakasih)”
Ada pula balasan SMS dari warga yang lokasi rumahnya berada paling ujung selatan yakni bapak Ajar Subyakta :
“Inggih pak, semoga tidak terjadi apa-apa. Ya kita berdoa saja.”
Sungguh menyenangkan bertempat tinggal di lingkungan yang penghuninya dari berbagai daerah dengan status pekerjaan yang berbeda-beda. Ada yang menjadi guru, polisi, pedagang, PNS Pemkab, instalatir listrik, pelajar dan mahasiswa yang kost, pengusaha selulair  dan swasta lainnya. Kekompakan dalam mengikuti berbagai kegiatan di RT, RW, Kelurahan, Kecamatan sampai di tingkat Kabupaten kerap kali nyata wujudnya. Hasil partisipasi warga Perumahan Sinawang Indah dalam aneka kegiatan memperingati hari besar nasional diantaranya berhasil meraih peringkat 5 besar Lomba Rondha Thethek dan Juara II Hias Sepeda Putri, yang diselenggarakan oleh PPHBN Kabupaten Trenggalek. Pada tahun 2006 ini pula ditunjuk Pemkab Trenggalek sebagai Hunian Perumahan Percontohan tingkat Kabupaten.

Kudengar seperti ada suara seseorang diluar rumah, lantas pintu studio kubuka. Tampak bapak Sukani, guru SMP Negeri 1 Trenggalek, warga perumahan blok C sambil berpayung dalam hujan sedang berbincang-bincang dengan bapak Yuli Priyanto di jalan perumahan depan rumah. Melihat aku nongol, pak Sukani juga mengabarkan kepadaku bahwa ketinggian air sungai yang terletak di sebelah barat perumahan ini sudah sejajar dengan “plengsengan” sungai. Kuambil sebungkus rokok dan HP, kumasukkan ke saku celana. Sebelum keluar rumah, aku berpesan kepada anakku yang sulung, Dias Agusta agar tetap berada di rumah bersama adik dan ibunya. Dengan membawa payung aku berjalan dalam hujan deras menuju poskamling. Berpapasan dengan pak Mislani di depan mushola Al-Ikhlas Sinawang, akupun berbincang sesaat dengan beliau perihal hujan yang masih terus lebat serta kondisi air sungai. Sesampai di poskamling yang sepi, aku berdiri sendirian menatap kearah utara, melihat tanah batas perumahan. Tak ada air yang menggenang disana, berarti keadaan sungai masih aman, pikirku. Tempat duduk poskamling yang terbuat dari bahan keramik berwarna coklat muda sudah basah kuyup oleh percikan air hujan. Kulihat jam di HP sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Dari arah selatan tampak berjalan dengan perlahan mobil panther dik Yono yang baru tiba dari perjalanan luar kota. Mobil berwarna abu-abu itu berhenti disampingku. Dik Yono turun dari mobil dan menghampiriku serta menanyakan teman-teman yang mendapat giliran tugas jaga malam ini. Kujawab bahwa sesaat lagi mereka akan tiba. Dik Yono mengambil tongkat kentongan dan mulai memukul kentongan sebanyak sebelas kali, sebagai tanda bahwa waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam, sudah saatnya warga yang dapat giliran jaga untuk berkumpul di poskamling. Dengan lampu senter di tangan, bersama dik Yono aku melihat ketinggian air sungai yang berwarna hitam kecoklatan sudah mendekati tanggul. Air yang berwarna gelap itu mengalir dengan deras dan bergulung-gulung seiring suaranya yang mendirikan bulu roma. Dengan payung masih ditangan karena hujan yang belum reda, kami mulai keliling perumahan untuk mengabarkan kepada segenap warga, supaya tetap waspada.
Aku jadi teringat pada tahun 2005 kemarin, saat itu hujan deras sepanjang pagi hingga siang. Kemudian pada sore harinya sekitar pukul 16.30 WIB, aku bersama warga yang lain seperti pak Nur Siadi, pak Nuryanto dan dik Yono menengok suasana sungai. Air sungai yang berwarna kecoklatan telah mencapai tanggul, dan tinggal 20 cm saja air sudah tumpah meluap ke perumahan apabila hujan belum reda. Ketinggian tanggul sungai adalah 125 cm dari permukaan tanah perumahan. Dapat dibayangkan seandainya belum ada tanggul, sudah tentu luapan air masuk ke area perumahan Sinawang. Bersyukur bahwa beberapa saat kemudian perlahan-lahan air sungai surut kembali.
Sepertinya malam ini ada firasat yang kurang baik memenuhi otakku. Genangan dan tingginya air sungai mirip dengan setahun yang lalu. Hanya yang membedakan jika di tahun 2005 air mendekati puncak tanggul pada sore hari, dimana banyak masyarakat lain berbondong-bondong menyaksikan besarnya air sungai. Sedangkan malam ini terasa lebih “miris”, dalam gelap malam gulungan riak sungai kulihat sangat menyeramkan tersorot lampu senter yang kugenggam. Usai keliling perumahan aku langsung berjalan pulang. Isteriku kuberitahu bahwa air sungai cukup besar. Didalam kamar utama kulihat anakku yang nomor dua, Ading Agusta, sedang terlelap dalam tidur yang nyenyak. Meski kasihan, si kecil terpaksa aku bangunkan, aku berfikir bahwa sebaiknya si kecil dan ibunya kuantar ke rumah ibuku di Surodakan, sementara aku dan Dias, anak sulungku tetap ditempat sambil memantau perkembangan hujan dan sungai. Ketika niatku ini kusampaikan ke isteri, dia bilang sebaiknya kita semua saja yang pergi ke rumah ibu di surodakan. Sempat terjadi debat dan selisih paham antara isteriku dan aku mempertahankan pemikiran masing-masing. Aku mulai bimbang dan resah. Kulihat si kecil Ading berdiri terdiam dan matanya masih kelihatan sangat mengantuk. Kusuruh Dias menutup pintu depan, lalu aku keluar rumah lagi untuk melihat keadaan air sungai. Di jalan perumahan mulai banyak warga yang hilir mudik. Ada pula beberapa warga yang rumahnya masih tertutup, lalu penghuninya segera dibangunkan oleh warga yang lain. Saluran buangan air sungai melalui pintu air sebelah utara perumahan mulai mengalirkan tumpahan air dari sungai, warnanya cokelat kehitaman, mengalir dengan tenang dan sangat anggun. Kulihat mas Yuli Priyanto mengeluarkan mobil sedan biru, lalu bersama isteri dan puteranya, Rafi meluncur kearah utara, keluar dari lokasi perumahan.
Aku bergegas masuk ke rumah untuk membujuk isteriku agar mau keluar dari lokasi perumahan. Meski agak sedikit keberatan akhirnya isteriku setuju. Sementara menunggu isteriku mengemasi barang-barang yang paling penting seperti ijazah dan surat berharga lainnya, terlebih dahulu aku dan si kecil Ading meluncur naik motor. Tujuanku transit kerumah pak Ucok terlebih dahulu untuk menitipkan Ading, kemudian pulang menjemput isteriku. Pak Ucok adalah tetangga dekat sewaktu aku masih kontrak rumah di RT.17 Kauman Ngantru Trenggalek. Lokasi tanah kediamannya lebih tinggi dari tanah perumahan Sinawang. Kupacu sepeda motor smash kepunyaan anak sulungku Dias menuju arah selatan, karena lewat arah utara sudah tidak bisa dilalui, tumpahan air sungai telah setinggi lutut. Sesampai di depan rumah pak Ajar, rumah yang berada paling selatan perumawan Sinawang Indah ini, aku terhenyak. Jalan tembus arah selatan menuju lok songo telah tertutup tumpahan air sungai kira2 setinggi 40cm dengan arus yang deras. Barangkali kalau sendirian aku berani nekat menyeberang. Namun kali ini harus aku urungkan karena ada si kecil Ading di boncengan belakang. Niat untuk ke rumah pak Ucok aku batalkan lalu sepeda motor kuputar balik ke rumah dan ku parkir di teras, di sebelah mobil merah tuaku Honda Civic tahun 1975.
“Nggak bisa, tumpahan air sungai lewat saluran kontrol sebelah selatan sudah memenuhi jalan tembus,” kataku pada isteriku, saat menanyakan kenapa balik lagi dengan Ading. Aku berpikir, jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari area perumahan adalah dengan berjalan kaki.
Suasana di jalanan perumahan semakin ramai oleh hilir mudik warga. Sementara arus air sungai yang mengalir dari saluran kontrol utara perlahan-lahan mulai menggenangi aspal jalan, dengan ketinggian sekitar 15 cm. Didalam rumah kulihat Dias sedang mengambil air wudlu. Biasanya kalau malam-malam seperti ini dia sudah terbiasa melaksanakan shalat malam atau tahajut. Anakku yang sulung ini memiliki tanggung jawab yang tinggi atas segala kemauan maupun prinsipnya. Sesuatu hal yang kurang sesuai dengan pikiran dan hatinya senantiasa ditanyakan ke orang tua. Termasuk urusan tugas wajib sebagai pelajar maupun soal hobby kelihatannya tidak mau setengah-setengah. Saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah 1 Trenggalek, Dias telah mengukir prestasi sebagai Juara I tingkat Jawa Timur pada Olimpiade Finger Painting di Surabaya. Adapun di bidang akademik, anakku yang satu ini senantiasa tak lepas dari peringkat I dan II sejak Sekolah dasar sampai dengan SMA saat ini. Jenjang sekolah ke SLTP maupun SLTA dilaluinya dengan lulus mengikuti test MIPA.




Kamis, 20 April 2006, pukul 00.02 WIB
(03)    Tanggul sungai jebol

Aku menuju ruang studio, kuangkat telepun rumah untuk menghubungi mas Yuli Priyanto serta mengabarkan kalau air sungai sudah mulai menggenangi jalan-jalan di perumahan. Isteri mas Yuli, mbak Lies yang menerima telepun mengatakan kalau mas Yuli sedang berada di pendopo Kabupaten saat ini. Kembali ke teras rumah kulihat air berwarna coklat kehitaman masih mengalir tenang di jalanan depan rumah. Meski gerimis masih cukup padat, beberapa tetangga tidak mempedulikan dan mulai sibuk mengamankan barang-barang berharga, termasuk perabot rumah tangga. Ada yang dibawa ke lantai 2 tempat tinggal mereka ataupun di mushola Al-Ikhlas Sinawang. Tampak dari arah utara, mas Yuli Priyanto tengah berlari-lari kecil menuju rumahnya. Aku sempat memberitahu bahwa aliran listrik pada alat-alat seperti kulkas, TV, mesin cuci dan lain-lain supaya dicabut dari stop kontak sebelum meninggalkan rumah. Sebenarnya spontan saja pikiran itu datang dan langsung kusampaikan ke mas Yuli,  apalagi melihat beliau sendirian masuk rumah.  Barangkali tadi masih ada barang yang tertinggal saat pergi dengan mobil bersama keluarganya, sehingga mas Yuli kembali lagi kerumah sinawang. Anehnya, aku sendiri masih santai saja melihat-lihat keadaan sekitar, belum ada saluran listrik alat-alat dirumah yang kulepas dari stop kontaknya, termasuk orgen dan speaker kontrol di studio. Dari dalam rumah kudengar istriku memanggil, supaya aku jangan keluar rumah dahulu. Kututup daun pintu ruang depan dan kulihat di kamar Dias masih sholat sujud malam. Rencanaku, usai Dias mengerjakan sholat, semua kuajak keluar dari area perumahan dengan berjalan kaki.
Antara percaya dan tidak, antara sadar dan terpukau, dari balik kaca jendela kulihat beberapa orang laki-laki berlari-lari sambil meneriakkan kalimat :”Banjir… banjir…!! Tanggul Jebol…!!” Hanya dalam hitungan detik, air yang semula mengalir kecil dan tenang di jalan depan rumah telah berubah menjadi besar dan deras dengan warnanya yang hitam kecoklatan, mengalir dari arah utara ke selatan, sejajar dengan aliran arus sungai utama di sebelah barat perumahan. Dengan cepat pula air keruh itu masuk kedalam rumah lewat saluran pembuangan air rumah tangga maupun melalui celah-celah dibawah daun pintu ruang depan dan studio. Hanya dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit, air dingin yang berwarna coklat tua itu sudah mencapai ketinggian sekitar 70 cm dari lantai rumah. Tanpa sempat membereskan barang-barang yang perlu diamankan dari jangkauan air, di ruang tamu, isteriku hanya bisa berdiri seraya mendekap tubuh si kecil Ading. Tak ada lantai dua untuk bisa naik keatas karena memang aku belum mampu untuk membuatnya Semenjak menempati rumah yang kuperoleh melalui kredit KPR BTN ini, aku memang belum mampu membuat rumah tingkat. Jangankan membangun loteng, untuk menambah ruang kamar tidur, gudang dan studio pada tahun 2004 dari tanah yang tersisa saja, aku dan isteriku harus pandai-pandai memenej pendapatan keluarga, yang terealisasi dalam bentuk tabungan. Kukatakan hal ini  bukan berarti aku mengeluh, namun faktanya memang demikian. Tak terbersit sedikitpun dihatiku gumpalan-gumpalan perasaan negatif dan pesimis yang dapat melemahkan semangat hidup. Sebaliknya, sejak kecil orang tuaku telah mengajari anak-anaknya tentang bagaimana menghadapi hidup yang keras ini, bagaimana membangun tekat dan spirit agar langkah kita senantiasa bisa tegap dengan sorot mata tajam kedepan, bagaimana caranya menggodok jiwa dan otak supaya tahan banting, tak gampang putus asa, bagaimana pula caranya mengerahkan segala daya dan kemampuan yang ada agar senantiasa terlatih dan terasah untuk bekal hidup, dan sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada yang memberi hidup kita, Allah SWT.
Tampak ekspresi ketakutan diraut wajah bulat dari anakku yang nomer dua ini, Aku dan Dias yang sebelumnya berusaha menutup celah-celah bawah pintu dengan kain kaos seadanya ternyata sia-sia. Kursi sudut di ruangan ini mulai bergerak karena ketinggian air terus naik dari sentimeter ke sentimeter. Meja kayu pendek yang melengkapi kursi sudut pun mulai terguling serta kursi pendek yang lain mengambang bersama beberapa buku, majalah, kertas-kertas Koran dan sandal. Otakku spontan berpikir pada saluran-saluran listrik di dalam rumah. Bersamaan dengan bunyi satu persatu perabotan rumah yang jatuh terangkat air, aku bergegas menuju ruang dapur dan studio, dimana banyak lampu dan alat elektronik yang masih menancap di stop kontak listrik. Cukup sulit menuju dua ruangan ini karena selain air bah kian meninggi juga terhalang oleh perabot-perabot yang mengapung. Di ruang dapur, kucabut kabel listrik kulkas dan mesin cuci dari stop kontaknya sesaat sebelum barang bermesin itu oleng dan jatuh kearahku, lalu aku bergegas menuju studio. Dalam keadaan seperti ini seakan kurasakan kekuatan tenagaku menjadi dua kali lipat besarnya. Peralatan drum yang menutupi pintu tembus studio dengan cepat kusingkirkan, supaya aku segera dapat meraih kabel lampu dan speaker kontrol untuk kulepas saluran listriknya. Sejenak aku berhenti sambil memandangi ruangan musik yang tengah tergenang air setinggi hampir satu meter. Bass drum, snare dan tom terus bergoyang-goyang dan mengapung, lalu mulai benpencar sendiri-sendiri seiring senandung hujan diluar yang masih turun lebat, dan bergabung dengan salon speaker, buku-buku nyanyian dan kursi plastik untuk berdansa. Bak konvoi sepeda motor di jalan raya, kebisingan suasana semakin lengkap dengan robohnya almari-almari besar yang berisi pakaian dan dokumen penting seperti ijazah, piagam dan SK, yang terdengar dari arah ruang kamar belakang. Ini adalah sebuah langkah perjuangan, dibutuhkan ikhtiar untuk dapat meraih keberhasilan, gumanku dalam hati. Akan tetapi kenyataan di depan mata kian membuat gundah suasana batin. Ahh, ini ujian yang sangat berat, cobaan yang tidak cukup hanya dengan mengandalkan otak dan tenaga, ini butuh pertolongan diatas ke-maksimal-an kemampuan logika manusia, dan itu adalah doa. Dalam situasi darurat seperti ini ada yang lebih utama dari sekedar mengamankan dokumen dan barang penting, yaitu menyelamatkan “bondo roso”. Harta bondo roso tidak dapat dinilai dengan dolar atau rupiah seberapapun jumlahnya, harta bondo roso tidak bisa ditukar dengan ratusan hektar tanah maupun gedung-gedung bertingkat, harta bondo roso tidak dapat digadai dengan iming-iming pangkat atau emas berlian, harta bondo roso adalah sejarah pengorbanan hidup anak manusia serta hasil pertalian batin dan kasih sayang, harta “bondo roso” itu adalah istri dan kedua anakku. Kudengar berkali-kali isteriku menyebut kebesaran nama Tuhan “Allahu’akbar”, dan ber-shalawat tiada henti. Beberapa benda tajam seperti menggores lengan tanganku, aku tak peduli, aku harus segera bergegas kembali ke ruang tamu untuk berkumpul bersama isteri dan anakku.
Kini air bah sudah mencapai leher anakku yang kecil, Ading, berarti ketinggian air bah dari lantai rumah sekitar 1 meter. Perasaanku bercampur aduk tidak karuhan, otakku kalut dan tegang, lebih-lebih melihat si kecil yang mulai menggigil kedinginan. Ya, dia sejak kecil memang belum banyak kuperkenalkan dengan kolam renang, sungai , pantai maupun sifat-sifat air lain yang mengalir. Diluar rumah, gemuruh arus air mengalir dengan suaranya yang riuh rendah terdengar sangat mengerikan. Dibalik kekalutan pikiranku yang tengah berada dalam situasi sulit seperti ini, tiba-tiba muncul magnet yang menarik memori perjalanan kehidupanku surut ke kisaran tahun 80-an. Saat itu dapat dikatakan bahwa julukan yang sering digunakan oleh teman-teman sepermainanku di kota Malang adalah “group si anak sungai”. Seperti nama tersebut, sungai adalah tempat yang paling menyenangkan untuk bermain. Tak satupun kolam pemandian dan sungai yang terlewatkan dari kegemaranku berenang. Aku paling menyukai salah satu permainan di air yaitu “jumpritan air (tangkap lawan di air)”. Permainan ini dapat dilakukan oleh 4 anak atau lebih. Cara bermain jumpritan air, yang pertama dilakukan adalah dengan “hompimpah (bolak balik telapak tangan untuk mendapatkan siapa yang kalah)”. Kemudian bagi yang kalah dalam hompimpah harus diam beberapa menit di tepi sungai untuk jaga sesaat, sementara yang lainnya mulai sembunyi di dalam air atau menjauh dari yang sedang jaga. Setelah itu teman yang jaga tadi mulai mengejar salah satu yang dianggap paling dekat jaraknya, bisa dengan menyelam atau berenang diatas air. Kejar mengejar di air sungai atau kolam renang inilah permainan yang sangat menyenangkan. Apabila ada salah satu yang tertangkap maka permainan dimulai lagi, dan yang jaga digantikan dengan teman yang lebih dahulu tertangkap tersebut. Selain bermain jumpritan air, ramai-ramai menyelam dan muncul didalam “grojokan (air terjun)” juga tidak kalah mengasyikkan, termasuk “ngintir (ikut arus sungai)” hingga masuk ke dalam terowongan besar. Di salah satu saluran anak sungai brantas yang mengalir membelah kota Malang, terdapat terowongan air yang dinamakan “kadal pang (nama terowongan air sungai brantas yang terletak di sebelah pabrik es Dinoyo Malang)”. Terowongan itu sangat lebar dengan radius sekitar 5 meter. Aku dan teman-teman sepermainan hampir setiap minggu berenang di aliran sungai brantas tersebut hingga memasuki terowongan kadal pang. Tidak ada yang mengajariku secara khusus bagaimana cara berenang itu, hanya kebiasaan sejak kecil bermain di sungai, lama-lama bisa berenang. Tanpa petunjuk maupun teori-teori seperti atlit renang, aku dan teman-teman secara otodidak mampu mempraktekkan renang dengan beberapa gaya, seperti gaya kupu-kupu, gaya punggung, gaya dada maupun gaya bebas. Dengan berbekal tekat dan keberanian serta mempelajari situasi air secara naluri, resiko kecelakaan didalam air seperti kram atau cedera terkena kayu maupun batu, dapat segera diatasi dengan cepat secara alamiah dan bergotong royong. Selain gemar mandi di sungai, sasaranku bermain air adalah pergi ke pemandian-pemandian, seperti Sengkaling, Metro, Ken Dedes, dan yang paling sering kudatangi adalah pemandian Wendit yang berjarak 3 km arah timur pasar Blimbing Malang. Pemandian Wendit memiliki sumber air yang besar yang memancar dari  kolam renang sebelah timur. Selain itu tempat ini merupakan salah satu lokasi wisata  bagi warga kota Malang, turis domestik maupun manca Negara. Lokasinya sangat asri dengan pohon-pohon besar dan puluhan kera yang jinak. Kolam renang yang tersedia di Wendit ini beraneka ragam, dari yang paling dangkal untuk anak-anak hingga  yang terdalam bagi orang dewasa yang hobby berenang.
Aku tersentak dari lamunan kala anakku yang sulung, Dias teriak lirih dan mengaduh. Jari tangannya di gigit seekor tikus yang berlari-lari ketakutan diatas almari buffet saat Dias berpegangan pada tepi almari itu.
“Jangan diceburkan ke air, tikus itu juga sedang menyelamatkan diri, kasihan,” kata isteriku kepada Dias. Aku juga berusaha memberikan ketenangan batin, terutama kepada si kecil Ading. Kukatakan bahwa sebentar lagi air akan surut seiring hujan yang mulai reda. Ruang tamu yang berukuran 3 X 5 meter ini sudah hampir setengah jam memantulkan doa-doa dan shalawat tanpa henti dari bibir kami berempat.
“Adik nggak apa-apa kan?” bisik isteriku seraya mendekap Ading.
“Gak apa-apa, adik hanya agak sesak bernafas,” jawab Ading dengan suara lirih dan terdengar gemetar karena kedinginan. Ya Tuhan, aku tidak tega melihat raut wajah kecil ini, hanya kepalanya yang pucat saja nampat dipermukaan air.
“Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maafkan atas segala dosa dan khilafku. Aku memohon kepadaMu, berilah pertolongan dan anugerahMu kepada isteri dan kedua anakku, terutama kepada si kecil Ading yang kurasa belum saatnya menerima beban seberat ini. Maafkan aku ya Allah,” lirih batinku menjerit. Beberapa kali aku menggigil oleh dinginnya air bah malam ini, dan aku bisa bayangkan bagaimana dengan anakku yang kecil, yang lewat dari setengah jam tubuhnya terendam di air. Jam dinding ruang tamu yang menempel cukup tinggi menunjukkan pukul 00.40 WIB. Dias juga terlihat cemas dan waspada, dengan tangkas tangannya meraih dan mengangkat tubuh adiknya lalu ia gendong disamping, agar tubuh Ading tidak terlalu masuk kedalam air.
Perhatianku saat ini terpecah menjadi dua, yakni kondisi air bah yang terus meninggi mendekati stop kontak listrik ruang tamu serta kepada si kecil yang mulai mengeluh karena ketinggian air sudah mencapai lehernya. Aku berpikir bahwa jalan satu-satunya mengatasi keadaan darurat seperti ini adalah dengan memutuskan aliran arus pendek listrik. Spontanitas Dias kusuruh menyiram stop kontak dengan air ditangannya, dengan harapan bisa terjadi “korsluiting” antara arus plus dan minus sehingga listrik bisa padam. Namun yang terjadi tidak seperti yang kukira, tidak ada tanda-tanda arus listrik putus bahkan lampu ruang tamu tak berkedip sedikitpun dari nyalanya yang terang. Urusan dengan setrum AC maupun DC memang menakutkan bagiku, sehingga aku tidak mengetahui secara detail sifatnya serta cara-cara mengatasinya apabila terjadi masalah. Yang aku tahu bahwa bermain-main dengan listrik itu merupakan pekerjaan yang sangat membahayakan.
Almari buffet ruang tamu yang digunakan isteriku untuk menyimpan barang pecah belah seperti piring, gelas dan “mangkok beling” tampak mulai bergoyang-goyang di sudut ruangan, tidak mampu melawan volume air, dan sesaat kemudian dengan perlahan dan lembut mulai jatuh terbalik. Seekor tikus yang sedang berputar-putar diatasnya seketika melompat keatas kursi sudut yang mengapung. Aku melirik tongkat kayu panjang yang biasanya digunakan Dias berlatih silat, tengah timbul tenggelam dipermukaan air. Otakku terus kuperas untuk mencari solusi-solusi agar bisa kugunakan untuk mengatasi problema “keselamatan hidup” malam ini. Kuraih tongkat itu, kemudian aku mendekat ke jendela depan. Sambil menyelam aku membuka kunci grendel jendela yang terletak dibawah, kemudian dibantu dorongan tongkat yang bertumpu pada tepi dinding, tubuhku mulai mendorong daun jendela agar bisa terbuka. Rencananya, aku akan keluar melalui jendela, selain untuk mematikan skakel listrik utama yang terletak didinding teras rumah, juga untuk mengamati suasana luar rumah barangkali masih mungkin untuk keluargaku mengamankan diri menuju lantai II mushola Al-Ikhlas di sebelah utara rumahku. Jangankan untuk terbuka lebar, jendela yang kudorong dengan tubuhku itu tak bergerak sedikitpun akibat tekanan air bah dari arah luar yang sangat kuat. Pikiranku semakin cemas, ternyata air tidak kunjung susut akan tetapi semakin naik. Untuk mengantisipasi kedalaman air diruangan ini, almari buffet yang telah jatuh miring kugunakan untuk tempat berpijak. Berempat kami naik diatas punggung buffet dengan berpegangan tangan dan mengambil posisi masing-masing berada ditepi agar keseimbangan beban tetap terjaga. Dan yang lebih mencemaskan lagi bagiku adalah permukaan air yang terus mendekati stop kontak listrik. Aku memang tidak paham betul perihal berapa daya arus “strom” manakala berada didalam air, yang kuingat sekilas hanya saat melihat orang mencari ikan di sungai menggunakan alat strom. Dengan berjalan menyusuri sungai yang dangkal, mereka gampang sekali memperoleh ikan dengan mencelupkan dua tangkai alat yang sudah dialiri plus minus strom. Hanya dalam hitungan detik ikan-ikan kecil sudah terlihat menggelepar bergelimpangan di permukaan air. Mereka tinggal mengambilnya dengan “serok-ikan” untuk dimasukkan kedalam keranjang.



Kamis, 20 April 2006, pukul 01.20 WIB
(04)    Tertolong hamba Allah

Detik ke detik menuju ke saat yang mencekam itupun tiba, “Allahu ‘Akbar” Allah Maha Besar. Bayangan kengerian yang mendera benakku sedikit tertepis. Ternyata tidak ada sengatan arus listrik di dalam air yang mengenai tubuhku maupun anak isteri ketika stop kontak mulai terendam, hanya lampu ruang tamu nyalanya berkedip-kedip tidak normal. Ruangan yang mulai sesak oleh air dan benda-benda yang mengapung ini masih nyaring memantulkan doa-doa dan shalawat dari bibir kami yang gemetar karena kedinginan, berpadu dengan bel rumah yang terus menerus berbunyi akibat baterainya mulai terendam air.
Sampai kapankah kami bisa bertahan dengan keadaan seperti ini, sedangkan permukaan air bah masih menunjukkan tanda-tanda terus naik? Apa yang bakal terjadi apabila batas usaha dan kemampuan kami sudah maksimal akan tetapi keadaan teramat sulit? Bagimana dengan si kecil Ading yang bibirnya semakin pucat dan badannya menggigil kedinginan? Bagaimana pula dengan isteriku yang tidak mengerti cara berenang? Berkali-kali batinku bertanya entah kepada siapa.
Tidak…!! Apapun yang bakal terjadi aku harus tetap berusaha untuk menyelamatkan keluargaku dari musibah air ini. Mataku tertuju pada ventilasi udara diatas pintu. Ini jalan sementara dan satu-satunya, pikirku. Aku akan mengomando Dias yang sudah terbiasa berlatih berenang untuk membawa renang adiknya mencapai ventilasi udara sebagai tempat pegangan tangan, dan aku sendiri akan membawa isteriku untuk menuju ketempat itu pula. Artinya aku dan Dias yang bisa berenang akan berbagi tugas. Di dinding jarum jam menunjukkan pukul 00.57 WIB. Ketinggian air telah mencapai pundak anakku yang kecil, berarti apabila ditambah buffet tempat kami berdiri, maka kedalaman air di ruang tamu ini sekitar 180 cm. Dias mencoba menjaga keseimbangan buffet dengan kaki kanan bertumpu pada dinding, akan tetapi karena kondisi air terus naik, buffet tempat kami berdiri mulai bergoyang dan bergeser. Aku memprediksi apabila air masih tetap bertambah maka buffet akan melayang, keseimbangan akan hilang dan kami berempat pasti terjatuh dikedalaman air.
“Iki piye pak, buffet-e wis obah-obah, Ading piye iki mengko? (Ini bagaimana pak, buffet sudah mulai bergoyang, Ading bagaimana ini nanti?)” ucap isteriku gusar melihat keadaan yang semakin menghawatirkan. Aku hanya termangu tanpa bisa menjawab, bibirku seakan terbungkam oleh aneka macam kecamuk pikiran-pikiran miris diotakku. Aku membisu, sebisu dinding ruangan yang menjadi saksi kegoncangan jiwa anak manusia yang tengah diuji oleh musibah banjir. Isteriku sepertinya juga tidak menunggu jawabanku, karena sesaat kemudian dia kembali mengajak kedua anakku untuk kembali melantunkan doa-doa dan shalawat, dengan suaranya yang menggigil karena kedinginan.
Tuhan Maha Agung, Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambaNya. Kumandang shalawat dan doa kami telah membawa seorang hamba Allah mendekati ruangan dimana kami terkurung air bah.
“Pak Didiek…!!??” teriak seseorang dari arah luar. Aku terkejut sekaligus batinku mengucap syukur alhamdulillah, aku yakin ini adalah barokah Allah SWT.
“Iya pak, ini saya bersama anak-anak didalam…!!” teriakku juga menjawab.
Ternyata orang tersebut adalah pak Mislani, tetanggaku yang bertempat tinggal di blok C, yang saat ini tengah bergelantungan di joglo teras rumahku.
“Masya’allah..” ucap pak Mislani, “Bagaimana ini saya harus membantu..?”
“Tolong pak Mis, skakel listrik yang ada diatas jendela panjenengan matikan dahulu,” kataku mulai mengomando dari dalam.
“Maaf pak Didiek, saya tidak bisa mencapai kesana karena tidak ada tempat berpegang,” jawab pak Mislani.
Ya aku maklum, air sudah setinggi hampir 2 meter, terlebih arus air diluar sangat deras sehingga cukup sulit bagi pak Mislani untuk mendekati skakel listrik, termasuk resiko arus listrik tegangan tinggi yang sangat membahayakan. Kemudian aku mulai berusaha memberi petunjuk langkah-langkah pak Mislani dalam rangka menolong kami keluar dari jebakan air yang ganas. Setelah pintu studio tidak bisa dibuka, aku bilang ke pak Mislani supaya beliau naik keatas rumah untuk membongkar genteng dan atap ruangan. Sesaat kemudian sudah kudengar suara telapak kaki yang berjalan tergesa-gesa diatas genteng rumah. Kelihatannya orang asli Banyuwangi ini cukup cekatan dalam bergerak seiring teriakan komandoku untuk mengarahkan sasaran yang tepat. Setelah kayu-kayu reng penyangga genteng dipatahkan, kudengar dengan jelas bunyi pijakan telapak kaki berjalan dikayu usuk plafon atap ruangan dimana kami berada.
“Dimana saya harus bisa turun pak Didiek?!!” teriak pak Mislani.
“Dijebol saja pak asbesnya..!!”
Dengan gerak cepat pak Mislani menjebol asbes, dan potongan-potongannya meluncur kebawah, sebagian ada yang mengenai keningku. Aku tak mempedulikan, yang penting bagiku jalan keluar untuk menyelamatkan keluargaku dari air bah yang terus meninggi segera bisa dilaksanakan. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana anakku sulung Dias menguras tenaganya dengan menggendong dari samping tubuh adiknya, karena ketinggian air di ruangan ini sudah mendekati 2 meter. Empat sisi asbes kini telah terbuka. Pak Mislani mulai berusaha turun mendekat dengan bergelantungan di kayu usuk plafon, sementara diatas juga kulihat dua orang yang bersiap-siap membantu. Tubuh anakku yang kecil, Ading diangkat oleh Dias dan sesaat kemudian diraih oleh tangan kanan pak Mislani. Aku kagum akan kekuatan fisik tetanggaku ini. Meski tubuhnya sedang-sedang saja, beliau mampu menggendong anakku Ading dengan bergelantungan menggunakan tangan kiri saja. Ada sedikit ketenangan dalam batinku melihat keadaan yang mulai berangsur sedikit demi sedikit teratasi. Mataku mulai tajam menatap rangkaian kayu ventilasi pintu rumah, nah ini langkah darurat sementara untuk bergelantungan sesaat di ventilasi sambil menunggu giliran untuk mendapatkan bantuan pertolongan, demikian otakku mulai berputar. Namun terdapat kendala, karena jarak tempatku berdiri di buffet dengan ventilasi sekitar 75 cm. Lantas aku bicara singkat ke istriku agar sementara ia tetap berdiri di buffet dg bersandar di dinding, dan aku sesaat akan menuju ventilasi, sesudah itu seperti gambaran otakku semula, aku akan membantu dengan menjulurkan satu tangan atau kaki ke arah istriku, supaya ia bisa berpegangan untuk menuju ventilasi. Setelah isteriku mengangguk, perlahan-lahan aku mulai turun dari buffet, masuk kedalam air dan jongkok di ubin ruangan. Sekejap saja aku sudah meluncur keatas setelah kedua kakiku menekan kuat ubin dengan gaya meloncat didalam air. Berhasil, kayu ventilasi dapat kuraih dengan tangan kananku. Segera mataku terarah pada posisi dimana isteriku tadi berdiri, namun betapa gusarnya hatiku, isteriku sudah tidak kelihatan ditempat semula. Dan lebih terkejut lagi kala kulihat anakku yang kecil Ading tengah timbul tenggelam di air dalam ruangan. Apa gerangan yang sedang terjadi???
Ternyata bersamaan dengan aku menyelam untuk bersiap-siap meloncat kearah ventilasi pintu, genggaman jari tangan pak Mislani yang bergelantungan diatas lepas dari kayu usuk dan meluncur jatuh ke dalam air bersama si kecil Ading yang berada dalam gendongannya. Dias dan ibunya yang tahu persis bagaimana pak Mislani dan Ading terjatuh ke air, spontan keduanya meluncur dan mengangkat tinggi-tinggi tubuh Ading agar tidak tenggelam. Belum sempat aku bergerak berenang untuk membantu mengamankan si kecil dan ibunya, pak Mislani sudah meloncat seperti burung terbang, secepat kilat bergelantungan di usuk plafon serta meraih tubuh si kecil Ading dan diangkatnya serta keatas. Si sulung Dias muncul dari dalam air seraya berteriak “Ibuukk… ibuukk…!!”. Hampir bersamaan dengan suara teriakan Dias, kepala isteriku mulai timbul dan bergerak-gerak di permukaan air. Seketika kuraih bahunya dan kuangkat, kemudian tangannya kusuruh ikut berpegangan di kayu ventilasi. Kutatap wajah isteriku yang terlihat kelelahan, dan berkali-kali memuntahkan air keruh dari muludnya. Sebagai lelaki aku merenung, betapa pengorbanan seorang ibu bagi anaknya, yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Ya, ibu… siapapun dia, adalah orang-orang yang wajib untuk mendapatkan kasih sayang dan penghormatan dari setiap anak-anaknya. Sebab pengorbanan seorang ibu itu tanpa batas, sejak mulai mengandung, melahirkan sampai membesarkannya, penuh cinta kasih, besar hati, penuh keikhlasan dan tanpa pamrih.
Allahu’akbar, saat-saat yang mencekam bertarung melawan keganasan air satu persatu mulai teratasi. Yang Maha Kuasa memberikan pertolongan kepada hambanya yang sedang dalam kesulitan, mendengarkan hambanya yang melantunkan doa-doa dan shalawat tiada henti. Maha Besar Allah, Allahu’akbar. Setelah Ading ditempatkan dalam posisi aman oleh pak Mislani yang dibantu mas Wisnu dan adiknya bu Endah, satu demi satu, isteriku, aku dan Dias dituntun arah oleh pak Mislani merayap diatas genteng menuju lantai dua rumah tetanggaku, pak Harmanto. Ternyata disini juga berkumpul para tetangga yang lebih dahulu berhasil menyelamatkan diri dari banjir bandang. Tercatat ada bu Anik Nuryanto, bu Mislani dan dua orang putranya, Aflah dan Anggi, bu Pardono, bu Endah se keluarga, pak Bakri serta beberapa anak pelajar yang kost. Informasi dari pak Mislani bahwa keluarga Sinawang lain yang selamat dan sekarang berada dilantai atas mushola Al-Ikhlas adalah bapak dan ibu Nyoto serta pak Sukani.
Kulihat baju kaos putih yang kukenakan banyak tercecer noda darah. Aku baru menyadari kalau tanganku terluka, entah terkena benda tajam, paku atau mungkin pecahan kaca, aku tidak ingat. Yang aku tahu saat ini lukanya mulai terasa perih dan terus mengeluarkan darah. Syukur di ruang atas ini aku melihat ada minyak tanah di lampu “cublik” di sudut ruangan. Menggunakan baju kaos basah yang kupakai, kubasuh lukaku dengan minyak tanah, agar luka tidak terinveksi, dan kemudian kuikat dengan saputangan untuk menghambat darah yang terus menetes. Pukul 03.00 dini hari tanda-tanda air surut mulai kelihatan. Meskipun sinyal HP mengalami gangguan total sejak pukul 01.00, namun semangat koordinasi antar warga tetap berjalan melalui koordinator spontanitas, yaitu dik Yono, pak Rudi Yola dan bapak Mislani, meskipun beliau-beliau harus berjuang dengan cara berenang di derasnya arus air bah yang tingginya tidak kurang dari 3 meter.
Waktu bergulir dengan cepat, sinar mentari pagi telah menghangatkan bumi dengan sinarnya. Dari lantai dua rumah pak Harmanto kulihat pemandangan yang porak poranda melingkupi lokasi perumahan Sinawang Indah dan sekitarnya. Yaa… Sinawang Indah, yang mengalami perubahan hanya dalam semalam, menjadi Sinawang kumuh, ahh kasihan. Luka ditanganku semakin terasa perih dan saputangan sebagai pembalutnya sudah berubah warnanya menjadi merah tua. Menjemput jam 08.30 WIB kepalaku terasa bergoyang dan mata berkunang-kunang, kemudian semua yang kulihat menjadi gelap. Kesadaranku kembali pulih saat aku berada di pembaringan Rumah Sakit Mardi Mulya, dengan tangan dibungkus verban usai lukanya dijahit serta jarum infus diatas tempat tidurku.
Bagaikan mimpi yang indah, dikelopak mataku jelas terpampang wajah isteriku yang berbinar-binar menatap kedua anakku Dias Agusta dan Ading Agusta tengah bergembira bermain musik di studio sebelah rumah induk, dan itu…. kemarin. Kini aku tenggelam dalam doa dan ucap lirih :”Tabahkan hatimu anak-anakku sayang, Allah Maha Tahu dan Maha Pengasih. Ayah akan kembali berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan kembali sarana hobby musikmu, dengan bekerja apapun yang penting barokah, dengan segenap waktu dan kemampuan yang ada.”


Di akhir tulisan, kugoreskan sebait lagu dari group rock legend God Bless, sebagai pelengkap semangat dalam menghadapi kehidupan ini :

“Lebih baik disini… rumah kita sendiri….
Segala nikmat dan karunia Yang Kuasa….
Semuanya… ada disini…..
Rumah kita…. Rumah kita……”





 (penulis, pada tahun 2013 ini turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada kerabat/saudara yang tercover secara langsung maupun tidak di alur cerita ini, khususnya bagi keluarga besar Perumahan Sinawang Indah serta personil group Orchestra Jabalkat, yakni kepada alm. Bapak H. Rifana Zainuddin (Pembina Jabalkat) serta alm. Yoyok (anggota Jabalkat), alm. Bapak Sunyoto (Sinawang Indah), alm. Ibu Hajar Subiyakta (Sinawang Indah), alm. Ibu Pardono (Sinawang Indah), yang telah berpulang kehadirat Illahi. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT, amin.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Solammi comment

ading agusta, speed drum...