AYO, MERAYAKAN PAMERAN LUKIS TRENGGALEK!
Oleh NURANI SOYOMUKTI, penulis dan Sekretaris Umum Dewan Kesenian Trenggalek (DKT)
MEMINDAHKAN realitas kehidupan dalam sebuah bingkai bukan hal yang mudah. Ia butuh kecermatan, butuh memadukan komposisi warna, butuh penghayatan, imajinasi, pun juga butuh waktu dan suasana yang tepat. Dan ketika bingkai itu telah hadir di ruang-ruang pameran dengan rupa dan warnanya, maka hal ini dibutuhkan sebuah keberanian.

Puluhan bingkai berukuran kecil (antara 40x60 cm) hingga yang besar (150x200cm) itu memberikan batasan empat sisi sebuah ruang (dua dimensi) yang berisi lukisan. Rupa dan warna terbingkai itu adalah lukisan-lukisan karya perupa dari Trenggalek yang kebanyakan adalah mahasiswa seni rupa di kampus Universitas Malang (UM), karya perupa Trenggalek, guru seni budaya, dan pelajar Trenggalek. Kehadiran puluhan lukisan yang mengambil ruang di Bawa Rasa Kabupaten Trenggalek (sebelah utara Pendopo Kabupaten) ini, bersama beberapa pelukisnya, tampaknya adalah kekuatan baru yang sedang berkontestasi dalam ruang kebudayaan yang ada.
Pameran lukis yang mengambil tema ”Trenggalek Berteman Hati” ini diselenggarakan mulai Hari Senin 07 Januari hingga Jumat, 11 Januari 2012. Pameran selama lima hari tampaknya telah menarik peminat seni rupa dari berbagai kalangan, bukan hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada, tetapi juga dari sebagian masyarakat yang mengetahui keberadaan pameran ini.
”Pelukis itu mau tak mau harus sombong”, ucap Eko Prayitno, salah satu pelukis yang memulai acara diskusi (sarasehan) pada malam pertama yang dihadiri belasan partisipan. Pernyataan yang cukup filosofis itu tampaknya hanyalah sebuah ajakan agar pelukis yang tampil kali ini memiliki kepercayaan diri. Rata-rata dari mereka bisa dibilang masih amat muda-muda, terutama penyelenggara kegiatan ini adalah mereka yang masih kuliah. Semangat semacam itu amat dibutuhkan, keberanian harus dipupuk agar yang muda-muda bisa tampil.
"BERNAUNG" Karya Didik Ridwan (Pelukis Kampak), 150 x 200 cm, Acrylic onm Canvas
MAKNA PAMERAN
Jika dilihat dari katanya sendiri (pameran), kata ”pamer” itu sendiri memang identik dengan tindakan menunjukkan eksistensi. Jadi memang identik pula dengan sikap sombong. Tapi kata ”pameran” (exhibition) itu cenderung merupakan tindakan aktif untuk menampilkan dan menunjukkan karya. Ini tentu saja tindakan aktif yang harus dilakukan pada saat sesuatu (yang harus ditunjukkan ini) sepi peminat, tidak dikenal, tidak biasa diketahui. Artinya kadang butuh tekad baja agar sesuatu itu diketahui publik.
Seni lukis tidak seperti seni jenis lainnya, katakanlah lagu dangdut koplo yang telah menyebar di mana-mana. Pun dengan lagu-lagu pop cengeng yang tiap detik akrab bagi masyarakat. Intinya, hal itu berkaitan dengan media antara karya seni dengan masyarakat (penikmat, konsumen, apresiator) yang berbeda antara seni lukis dengan seni populer lainnya.

"Jaring Tarik" karya Restu H.M (asal Prigi), 60x80 cm, Oil on Canvas
Beda proses kreatif, beda karakter karya seni, beda media, juga akan menentukan tingkat kemampuan masyararakat dalam mengenal jenis seni tersebut. Seni populer seperti musik pop memang bisa menyebar di masyarakat dengan mudah, karena mendukung stabilitas budaya kapitalisme yang ingin membentuk budaya berfikir dangkal. Betapa mudah menghafal lagu-lagu pop dan dangdut koplo. Anmak-anak kecil berusia 7 tahun saja sudah fasih menyanyikan lirik seperti ini: ”Ku hamil duluan/Sudah tiga bulan/Gara-gara kupacaran di gelap-gelapan”. Atau betapa mudah remaja-remaja galau menghafal lagu Cerrybell, Noah, Gabindas, Vagetos, The Virgin, dll.
”Memahami lukisan itu kok berat sekali. Ini apa maksud dari lukisan ini?”, tanya seorang pengunjung yang tampaknya seusia anak sekolah menengah atas. Dan memang, butuh penafsiran, butuh berfikir, butuh menterjemahkan simbol-simbol rupa dari komposisi di atas kertas, kanvas, atau media rupa lainnya. Namun tidak serta merta bahwa anggapan bahwa lukisan itu berat untuk diterjemahkan bernilai muthlak. Tergantung apakah lukisan menggambarkan realitas kehidupan secara surrealis ataukah realis.
Seniman boleh menyampaikan pesannya secara lugas, langsung, dan jelas. Boleh juga menggambarkan kehidupan atau menyampaikan pesan dengan bahasa dan rupa yang abstrak. Itu sah-sah saja, tidak ada pemaksaan dalam proses berkreasi. Semuanya akan dinilai, dan semuanya akan bisa dilacak. Yang mempersulit pesan dengan abstraksi yang sulit ditangkap dari karyanya, maka sang kreator juga harus secara terbuka menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang yang tak memahami pesan keseniannya.

"Mengurung Hari Depan", karya Bara Wijaya (Karangan), 150x200 cm, Acrylic on Canvas
APRESIASI
Maka sudah selayaknya dalam semuah pameran lukisan harus diikuti dengan apresiasi. Dan setiap apresiasi selayaknyalah akan menempatkan sang kreator dan apresiator sebagai dua pihak yang akan membangun situasi. Pameran diadakan memang bertujuan untuk mencari apresiator, penikmat, dan tak sedikit pula mencari konsumen. Setidaknya pameran dibuat agar kreator bisa menunjukkan esksistensinya.
Selanjutnya ruang apresiasi terjadi ketika lukisan dilihat dengan penuh kenikmatan. Mengingat kualitas interpretatif yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Maka ada baiknya seniman lukis juga membuat semacam katalog beserta penjelasan dari lukisannya, baik tertulis maupun lisan. Karena itulah diskusi untuk mengapresiasi karya amat diperlukan untuk menjembatani maksud yang disampaikan oleh kreator dengan khalayak penikmat (terutama apresiator awam yang pemahamannya untuk menterjemahkan komposisi masih rendah).
Bagi saya yang masih awam mengenai masalah seni rupa, saya berharap pameran dan apresiasi karya yang dipamerkan seperti itu akan seringkali diselenggarakan. Kegiatan semacam ini adalah bentuk pendewasaan intelektual, pun juga bisa sebagai media katarsis dan pelepasan alternatif dari kehidupan melihat hari-hari yang penat. Melihat lukisan, menafsirkan komposisi yang berada dalam bingkai, seperti menikmati kehidupan dari sudut pandang yang lain, yang lebih individual mungkin—atau juga justru lebih meningkatkan kepekaan sosial.
Demikian pula dalam menikmati piluhan lukisan dalam pameran lukis Trenggalek kali ini, dengan komposisi-komposisi yang sudah menunjukkan bahwa eksistensi berkesenian perupa Trenggalek ternyata tak ketinggalan dari seniman kota-kota lain. Banyak pelukis berbakat di Trenggalek ini, setidaknya bibit-bibitnya luar biasa banyak. Semakin mereka mendapatkan ruang untuk menampilkan karya, semakin mereka termotivasi untuk mengasah produktivitas dan kreativitasnya.
Selamat! Salam Budaya! Seni Rupa Trenggalek Jaya!

MEMINDAHKAN realitas kehidupan dalam sebuah bingkai bukan hal yang mudah. Ia butuh kecermatan, butuh memadukan komposisi warna, butuh penghayatan, imajinasi, pun juga butuh waktu dan suasana yang tepat. Dan ketika bingkai itu telah hadir di ruang-ruang pameran dengan rupa dan warnanya, maka hal ini dibutuhkan sebuah keberanian.

Puluhan bingkai berukuran kecil (antara 40x60 cm) hingga yang besar (150x200cm) itu memberikan batasan empat sisi sebuah ruang (dua dimensi) yang berisi lukisan. Rupa dan warna terbingkai itu adalah lukisan-lukisan karya perupa dari Trenggalek yang kebanyakan adalah mahasiswa seni rupa di kampus Universitas Malang (UM), karya perupa Trenggalek, guru seni budaya, dan pelajar Trenggalek. Kehadiran puluhan lukisan yang mengambil ruang di Bawa Rasa Kabupaten Trenggalek (sebelah utara Pendopo Kabupaten) ini, bersama beberapa pelukisnya, tampaknya adalah kekuatan baru yang sedang berkontestasi dalam ruang kebudayaan yang ada.
Pameran lukis yang mengambil tema ”Trenggalek Berteman Hati” ini diselenggarakan mulai Hari Senin 07 Januari hingga Jumat, 11 Januari 2012. Pameran selama lima hari tampaknya telah menarik peminat seni rupa dari berbagai kalangan, bukan hanya dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada, tetapi juga dari sebagian masyarakat yang mengetahui keberadaan pameran ini.
”Pelukis itu mau tak mau harus sombong”, ucap Eko Prayitno, salah satu pelukis yang memulai acara diskusi (sarasehan) pada malam pertama yang dihadiri belasan partisipan. Pernyataan yang cukup filosofis itu tampaknya hanyalah sebuah ajakan agar pelukis yang tampil kali ini memiliki kepercayaan diri. Rata-rata dari mereka bisa dibilang masih amat muda-muda, terutama penyelenggara kegiatan ini adalah mereka yang masih kuliah. Semangat semacam itu amat dibutuhkan, keberanian harus dipupuk agar yang muda-muda bisa tampil.
"BERNAUNG" Karya Didik Ridwan (Pelukis Kampak), 150 x 200 cm, Acrylic onm Canvas
MAKNA PAMERAN
Jika dilihat dari katanya sendiri (pameran), kata ”pamer” itu sendiri memang identik dengan tindakan menunjukkan eksistensi. Jadi memang identik pula dengan sikap sombong. Tapi kata ”pameran” (exhibition) itu cenderung merupakan tindakan aktif untuk menampilkan dan menunjukkan karya. Ini tentu saja tindakan aktif yang harus dilakukan pada saat sesuatu (yang harus ditunjukkan ini) sepi peminat, tidak dikenal, tidak biasa diketahui. Artinya kadang butuh tekad baja agar sesuatu itu diketahui publik.
Seni lukis tidak seperti seni jenis lainnya, katakanlah lagu dangdut koplo yang telah menyebar di mana-mana. Pun dengan lagu-lagu pop cengeng yang tiap detik akrab bagi masyarakat. Intinya, hal itu berkaitan dengan media antara karya seni dengan masyarakat (penikmat, konsumen, apresiator) yang berbeda antara seni lukis dengan seni populer lainnya.

"Jaring Tarik" karya Restu H.M (asal Prigi), 60x80 cm, Oil on Canvas
Beda proses kreatif, beda karakter karya seni, beda media, juga akan menentukan tingkat kemampuan masyararakat dalam mengenal jenis seni tersebut. Seni populer seperti musik pop memang bisa menyebar di masyarakat dengan mudah, karena mendukung stabilitas budaya kapitalisme yang ingin membentuk budaya berfikir dangkal. Betapa mudah menghafal lagu-lagu pop dan dangdut koplo. Anmak-anak kecil berusia 7 tahun saja sudah fasih menyanyikan lirik seperti ini: ”Ku hamil duluan/Sudah tiga bulan/Gara-gara kupacaran di gelap-gelapan”. Atau betapa mudah remaja-remaja galau menghafal lagu Cerrybell, Noah, Gabindas, Vagetos, The Virgin, dll.
”Memahami lukisan itu kok berat sekali. Ini apa maksud dari lukisan ini?”, tanya seorang pengunjung yang tampaknya seusia anak sekolah menengah atas. Dan memang, butuh penafsiran, butuh berfikir, butuh menterjemahkan simbol-simbol rupa dari komposisi di atas kertas, kanvas, atau media rupa lainnya. Namun tidak serta merta bahwa anggapan bahwa lukisan itu berat untuk diterjemahkan bernilai muthlak. Tergantung apakah lukisan menggambarkan realitas kehidupan secara surrealis ataukah realis.
Seniman boleh menyampaikan pesannya secara lugas, langsung, dan jelas. Boleh juga menggambarkan kehidupan atau menyampaikan pesan dengan bahasa dan rupa yang abstrak. Itu sah-sah saja, tidak ada pemaksaan dalam proses berkreasi. Semuanya akan dinilai, dan semuanya akan bisa dilacak. Yang mempersulit pesan dengan abstraksi yang sulit ditangkap dari karyanya, maka sang kreator juga harus secara terbuka menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang yang tak memahami pesan keseniannya.

"Mengurung Hari Depan", karya Bara Wijaya (Karangan), 150x200 cm, Acrylic on Canvas
APRESIASI
Maka sudah selayaknya dalam semuah pameran lukisan harus diikuti dengan apresiasi. Dan setiap apresiasi selayaknyalah akan menempatkan sang kreator dan apresiator sebagai dua pihak yang akan membangun situasi. Pameran diadakan memang bertujuan untuk mencari apresiator, penikmat, dan tak sedikit pula mencari konsumen. Setidaknya pameran dibuat agar kreator bisa menunjukkan esksistensinya.
Selanjutnya ruang apresiasi terjadi ketika lukisan dilihat dengan penuh kenikmatan. Mengingat kualitas interpretatif yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Maka ada baiknya seniman lukis juga membuat semacam katalog beserta penjelasan dari lukisannya, baik tertulis maupun lisan. Karena itulah diskusi untuk mengapresiasi karya amat diperlukan untuk menjembatani maksud yang disampaikan oleh kreator dengan khalayak penikmat (terutama apresiator awam yang pemahamannya untuk menterjemahkan komposisi masih rendah).
Bagi saya yang masih awam mengenai masalah seni rupa, saya berharap pameran dan apresiasi karya yang dipamerkan seperti itu akan seringkali diselenggarakan. Kegiatan semacam ini adalah bentuk pendewasaan intelektual, pun juga bisa sebagai media katarsis dan pelepasan alternatif dari kehidupan melihat hari-hari yang penat. Melihat lukisan, menafsirkan komposisi yang berada dalam bingkai, seperti menikmati kehidupan dari sudut pandang yang lain, yang lebih individual mungkin—atau juga justru lebih meningkatkan kepekaan sosial.
Demikian pula dalam menikmati piluhan lukisan dalam pameran lukis Trenggalek kali ini, dengan komposisi-komposisi yang sudah menunjukkan bahwa eksistensi berkesenian perupa Trenggalek ternyata tak ketinggalan dari seniman kota-kota lain. Banyak pelukis berbakat di Trenggalek ini, setidaknya bibit-bibitnya luar biasa banyak. Semakin mereka mendapatkan ruang untuk menampilkan karya, semakin mereka termotivasi untuk mengasah produktivitas dan kreativitasnya.
Selamat! Salam Budaya! Seni Rupa Trenggalek Jaya!

(postingan sahabat nurani soyomukti di facebook)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Solammi comment